Menutup akhir pekan dengan kunjungan ke rumah Ibu selalu menjadi momen yang menenangkan. Ada rasa pulang yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Rumah Ibu selalu hangat, penuh cerita, celoteh keponakan, dan selalu ada topik ngobrol yang menarik dengan adikku seorang. Dalam perjalanan pulang, aku teringat kulkas di rumah yang sudah nyaris kosong dari stok buah. Dengan refleks, aku katakan kepada anakku yang duduk di belakang kemudi, “Dek, nanti beli buah, ya.”
Toko buah yang kutuju berada di jalur perjalanan pulang
dari rumah Ibu. Rupanya, toko itu adalah cabang dari toko buah langgananku di
dekat rumah. Aku tersenyum kecil—barangkali ini pertanda baik. Setidaknya, aku
sudah tahu kualitas buahnya bagus dan pelayanannya pun biasanya memuaskan. Di
toko utama, aku sudah hafal wajah mas penjaganya: selalu ramah, cepat tanggap,
dan tahu betul bagaimana melayani pembeli. Bahkan tanpa banyak bicara, ia bisa
memilihkan buah terbaik untukku. Hubungan antara penjual dan pembeli memang
terkadang tumbuh dari hal-hal kecil seperti itu—kepercayaan, keramahan, dan
ketulusan dalam melayani.
Malam itu, dari balik kaca mobil, aku sudah bisa melihat
deretan buah yang menggoda mata. Warna-warna segar mereka berbaris rapi di
etalase: merah apel, kuning jeruk, hijau melon, dan oranye mangga. Aku sempat
berpikir untuk membeli lebih banyak dari biasanya; sekadar untuk menambah
semangat menyambut awal pekan. Dengan langkah ringan aku turun dari mobil,
membawa rasa senang sederhana karena akan kembali membawa kesegaran ke rumah.
Namun, begitu memasuki toko, suasana yang kutemui berbeda
jauh dari bayanganku. Dua orang penjaga toko hanya melirik sekilas ke arahku,
lalu kembali menunduk ke layar ponsel masing-masing. Tidak ada sapaan, tidak
ada senyum, bahkan tidak ada isyarat sekecil apapun bahwa mereka memperhatikan
pelanggan yang baru masuk. Ruangan toko terasa dingin bukan karena udara malam,
melainkan karena hilangnya kehangatan interaksi manusia di dalamnya.
Aku berjalan pelan menyusuri rak buah, mencoba menepis
rasa kikuk. Di sisi kanan, mangga-mangga matang menguarkan aroma manis. Aku
memilih lima buah, memasukkannya ke kantong plastik, dan mendekat ke meja
kasir. Salah satu penjaga akhirnya berdiri, menimbang buah tanpa menatap
wajahku, lalu menyebutkan harga dengan nada datar. Transaksi selesai tanpa
pertukaran senyum, tanpa sapaan “terima kasih”, tanpa kesan apapun.
Kembali ke mobil, suamiku bertanya singkat, “Sudah, Ma?”
Aku mengangguk. “Sudah. Tapi mas-masnya cuek, sibuk main HP. Jadi nggak
semangat mau beli.”
Percakapan itu ringan, tapi di kepalaku berputar refleksi
yang lebih dalam. Ternyata, pelayanan yang baik bukan sekadar formalitas. Ia
adalah nyawa dari sebuah usaha. Banyak orang berpikir bahwa yang menentukan
pelanggan kembali adalah kualitas barang atau harga yang bersaing. Padahal, ada
satu hal yang sering dilupakan: perasaan manusia ingin dihargai.
Dalam pengalaman sederhana malam itu, aku kembali
diingatkan bahwa pelayanan yang baik bukan hanya tentang kecepatan melayani
atau kemampuan menawarkan produk. Ia menyangkut kehadiran yang penuh perhatian—menyapa,
menatap mata pelanggan, mendengarkan kebutuhan mereka, dan memberi kesan bahwa
keberadaan mereka penting. Itulah yang membuat pelanggan merasa “dikenal”,
bukan sekadar “dilayani”.
Toko buah yang kutuju malam itu punya buah yang sama
bagusnya dengan cabang utama. Tapi mengapa aku tidak bersemangat berbelanja?
Karena pelayanan di sana kehilangan ruhnya. Ia dingin, mekanis, tanpa sentuhan
manusiawi. Dan tanpa disadari, itu cukup untuk membuat pelanggan kehilangan
niat untuk kembali.
Dari sini aku belajar bahwa di dunia perdagangan—baik di
pasar tradisional, toko modern, maupun toko daring—keramahan dan perhatian
adalah modal yang tidak bisa digantikan oleh teknologi. Orang mungkin bisa
membeli buah, pakaian, atau barang lainnya di mana saja. Tapi pengalaman yang
hangat, pelayanan yang tulus, dan interaksi yang menghargai itulah yang membuat
pelanggan merasa “pulang”.
Kita hidup di era di mana layar sering kali menggantikan
tatap mata, dan kecepatan informasi membuat orang lupa untuk berhenti sejenak
dan berinteraksi dengan penuh kesadaran. Padahal, dalam setiap transaksi,
selalu ada dua sisi yang sama pentingnya: penjual yang mencari rezeki dan
pembeli yang ingin dihargai. Ketika salah satunya abai, maka hubungan itu
kehilangan keseimbangannya.
Pelajaran ini sebenarnya bisa meluas jauh melampaui
konteks toko buah. Dalam dunia kerja, pelayanan publik, lembaga pendidikan,
bahkan dalam kehidupan sehari-hari, sikap responsif dan ramah menjadi cermin
dari karakter seseorang atau institusi. Pelayanan bukan hanya urusan bisnis,
tetapi juga bentuk tanggung jawab sosial—bagaimana kita memperlakukan orang
lain dengan hormat dan perhatian.
Kini setiap kali aku melewati toko buah itu, ada sedikit
rasa enggan untuk berhenti. Bukan karena buahnya tak menarik, tetapi karena aku
tahu, pengalaman berbelanja bukan hanya soal barang yang kubawa pulang,
melainkan juga rasa yang tertinggal di hati.
Malang, 3 November 2025

0 Comments