Perjalanan kami dimulai dari Surabaya, pada pagi yang berawan. Satu jam penerbangan menuju Denpasar terasa begitu singkat, namun penuh kesan. Ketika pramugari menyampaikan ucapan penyambutan kepada para penumpang, anak bujangku berbisik pelan, “Bindeng, Ma.” Komentar kecil yang sederhana, namun berhasil membuatku tersenyum—mengingatkanku bahwa dalam setiap langkah yang ia tempuh menuju kedewasaan, selalu ada sisi kekanak-kanakan yang belum sepenuhnya ia tinggalkan. Kadang, justru sisi itulah yang membuat perjalanan terasa lebih hangat.
Kami mendarat di Ngurah Rai dan menanti di terminal
domestik. Menghabiskan waktu dengan salat di musala dan makan di sebuah gerai
berwarna pink ikonik—sebuah warna yang, entah mengapa, selalu terasa ceria dan
memberi sedikit energi ekstra di tengah hiruk-pikuk perjalanan panjang. Waktu
seolah melambat saat kami menunggu loket check-in dibuka tiga jam sebelum
keberangkatan internasional kami.
Ketika loket akhirnya dibuka, kami naik buggy car tanpa biaya tambahan. Sebuah hal sederhana namun menyenangkan—seperti hadiah kecil yang muncul tiba-tiba. Di lantai tiga, kami mencari informasi di layar monitor, memastikan maskapai dengan lambang kanguru merah membuka loket di gate C13-16. Lima menit sebelum loket benar-benar dibuka, antrean sudah mengular. Di sanalah aku kembali menyadari: perjalanan bukan hanya tentang bergerak cepat, tetapi juga tentang kesabaran.
Setelah drop bagasi, kami menuju pintu keberangkatan.
Pemeriksaan keamanan berlangsung seperti biasa, namun kali ini teknologi
imigrasi self-service membuat segalanya terasa lebih mudah. Tinggal memindai
paspor, menatap monitor, menunggu lampu hijau menyala, dan pintu pun terbuka.
Ada sesuatu yang menarik dalam proses sederhana itu—seolah pintu perjalanan
baru terbuka bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara batin.
Saat duduk di ruang tunggu, petugas memeriksa ulang tas
dan koper kabin kami dengan cermat. Setiap perjalanan menuju luar negeri selalu
memerlukan ketelitian, seakan dunia ingin memastikan bahwa setiap orang
benar-benar siap dengan apa yang dibawanya—baik yang nyata maupun yang tak
kasat mata: harapan, sekaligus kekhawatiran.
Ketika pesawat akhirnya mengudara pada pukul 21.20 WITA,
kelelahan mulai merayap. Waktu pembagian makanan datang ketika kami bertiga
telah terlelap. Aroma menu beef dan chicken menguar lembut ke seluruh kabin,
tetapi kantuk terlalu kuat untuk dilawan. Ada semacam kelegaan yang
kurasakan—bahwa dalam perjalanan jauh ini, kami tetap memiliki ruang untuk
beristirahat, bahkan di antara suara mesin dan gerak angin ribuan kaki di atas
udara.
Pagi menjelang, dan suara kapten pesawat mengabarkan
bahwa kami telah memasuki area Sydney. Mata terpaksa terbuka meski masih terasa
berat. Incoming passenger card kami isi perlahan, memastikan setiap detail
sesuai aturan. Pukul 06.15 waktu setempat, pesawat mendarat. Selisih empat jam
dengan waktu Indonesia terasa seperti mengingatkan bahwa dunia begitu luas,
namun rasa keluarga tidak pernah berada terlalu jauh.
Proses imigrasi berjalan lancar. Kami mengambil bagasi,
lalu menuju pemeriksaan barang-barang yang kami declare. Beberapa lembar tolak
angin cair dan permen—hal kecil yang kami anggap penting—kami masukkan sebagai
traditional medicine. Dan semuanya diterima tanpa kendala. Momen kecil itu
memberikan perasaan lega: hal-hal sederhana dari rumah boleh tetap dibawa,
seakan memastikan bahwa kami tidak sepenuhnya meninggalkan tanah kelahiran.
Di pintu kedatangan, anak gadisku menunggu. Aku sempat
berpesan sehari sebelumnya, “Bawa roti ya, Nduk. Papa sudah jamnya maem, ndak
bisa ditunda.” Dan kini, melihatnya berdiri di depan mata, membawa sesuatu
untuk kami, rasanya seperti pulang dalam arti yang lain. Aku memeluknya erat
dan spontan berkata, “Nduk, kok tipis sekali badannya?” Ia tersenyum, berusaha
menutupi lelahnya. “Iya ta, Ma. Nugas, Ma,” jawabnya sambil menunjukkan rona
bahagia yang tak bisa ia sembunyikan.
Kami tiba di Capitol Terrace Apartment di lantai 11. Unit
dua kamar itu menjadi rumah kecil kami selama empat hari. Kami menempati kamar
master dengan tiga tempat tidur dan kamar mandi dalam. Ada dapur kecil dan
laundry—fasilitas sederhana namun sangat berarti bagi perantau. Di ruang inilah
kami menaruh koper, meluruskan punggung, dan bersiap menyusun hari-hari yang
akan datang.
Aku dan suami terlelap sebentar, namun terbangun dalam
kesunyian. Anak gadis dan anak bujang tidak tampak. Wifi belum terhubung,
sementara kami memang memilih tidak menggunakan paket data lokal. Ada jeda lima
menit yang terasa lebih panjang dari seharusnya, sampai akhirnya keduanya
muncul, membawa sekotak makanan dari restoran Turki terdekat.
“Buat mengganjal ya, Ma. Nanti kita makannya di Manly.
Ada menu fish and chips,” ujar anak gadisku. Kalimat sederhana itu, entah
mengapa, seperti mengikat kembali semua jarak yang pernah memisahkan kami.
Di titik itulah aku memahami makna perjalanan ini.
Bahwa perjalanan bukan hanya tentang memindahkan tubuh
dari satu negara ke negara lain. Bukan semata tentang menapaki rute wisata atau
menikmati kota asing. Perjalanan adalah cara untuk menyatukan kembali sesuatu
yang perlahan renggang: kehadiran, perhatian, dan kehangatan keluarga.
Perjalanan adalah cara untuk mengingat bahwa cinta tidak pernah mengenal batas
udara, perbatasan, atau waktu.
Dan mungkin, perjalanan paling panjang bukanlah yang kami
tempuh dari Surabaya ke Sydney, melainkan perjalanan batin yang mengajarkan
kami satu hal:
Bahwa keluarga, betapa pun jaraknya, selalu menjadi rumah
untuk kembali.
Malang, 17 November 2025




0 Comments