Kami dan Harbour City

Anak gadisku telah menyiapkan tiga kartu Opal untuk kami bertiga—tanda kecil bahwa ia semakin dewasa, semakin piawai mengatur hidupnya, dan semakin siap menjadi tuan rumah bagi kami di kota yang kini menjadi ruang belajarnya. Kartu Opal itu sederhana, tetapi fungsinya luar biasa praktis: satu ketukan untuk masuk ke kereta, light rail, bus, atau feri; satu ketukan lagi untuk keluar. Sistem “tap on, tap off” yang terlihat remeh ternyata memberiku pengalaman baru tentang bagaimana kemudahan kecil justru membuat perjalanan panjang terasa ringan.

Dari apartemen, kami berjalan kaki satu menit menuju pemberhentian light rail di Haymarket. Langkah kami terasa ringan, dan dalam beberapa menit, kami sudah berada di atas trem yang membawa kami ke Circular Quay—jantung transportasi Sydney yang sekaligus merupakan salah satu pusat kehidupan kota. Circular Quay, dengan ritme manusia yang datang dan pergi, terdengar seperti sebuah simfoni urban: feri yang berlabuh, deru kereta di atas, trem melintas perlahan, dan suara ombak yang memecah di tepian dermaga.

Ketika kami turun di pemberhentian terakhir, pemandangan dua ikon kota itu menyambut kami: Sydney Opera House di sisi timur, membentang anggun dengan lengkung-lengkung putih seperti layar kapal; dan Sydney Harbour Bridge di sisi barat, gagah dan solid seperti penjaga kota. Melihat keduanya sekaligus membuat saya merasa seolah sedang menatap halaman baru dunia—modern, dinamis, namun tetap memancarkan pesona klasik yang sulit dijelaskan.

Kami berjalan menuju Opera House, menapaki anak tangga demi anak tangga sambil sesekali berhenti untuk memotret, atau sekadar menikmati semilir angin laut. Sydney Harbour Bridge, yang oleh penduduk setempat dijuluki “The Coathanger”, bukan sekadar struktur baja. Ia adalah simbol ketangguhan dan ambisi manusia. Bagi sebagian orang, mendakinya melalui BridgeClimb adalah pengalaman mendebarkan yang menghadirkan pemandangan 360 derajat dari atas pelabuhan. Bagiku, melihat manusia-manusia kecil berjalan di sepanjang lengkungannya saja sudah cukup membuat hati berdebar.

Setelah puas menikmati ikon kota, kami memutuskan menyeberang ke Manly. Di Circular Quay tersedia dua pilihan: Sydney Ferries yang lebih santai, dan Manly Fast Ferry yang lebih cepat. Kami memilih yang kedua. Antrian sudah memanjang di Wharf 2, tetapi suasana justru terasa menyenangkan—wisatawan, penduduk lokal, dan anak-anak kecil yang berlari-lari kecil menambah warna dinamika dermaga.


Feri melaju dengan kecepatan stabil, membelah air biru dengan angin laut menerpa wajah kami. Dalam 20 menit yang singkat, saya merasa seperti sedang melintasi potongan kecil film perjalanan. Namun rute kepulangan melalui Sydney Ferries kemudian menghadirkan pengalaman lain: lebih tenang, lebih lama, dan lebih memberi kesempatan untuk menyimpan setiap detail pemandangan ikonik—Opera House di sisi kiri, Harbour Bridge di sisi kanan.

Setibanya di Manly Wharf, kami berjalan menyusuri The Corso, area pedestrian yang ramai penuh toko, kafe, dan pengunjung yang berlalu-lalang. Setelah memilih menu fish and chips serta calamari box di salah satu restoran, kami duduk di dekat playground. Melihat anak-anak bule berlari dengan tawa renyah, ada perasaan hangat; ada kebahagiaan yang universal, bahasa yang dipahami tanpa kata-kata.

Pantai Manly menyambut kami dengan kelembutan cuaca yang mirip dengan Batu: sejuk, berangin, dan teduh. Debur ombaknya syahdu, sementara sekawanan burung terbang bergerombol di atas kami. Namun ada satu hal yang membedakan—papan peringatan kuning bertuliskan “Beach Closed, Shark Sight” berdiri tegak. Tak ada yang berani turun ke air; pengunjung memilih duduk di pasir atau berjalan santai menyusuri bibir pantai. Bahaya kadang tidak selalu menakutkan, selama kita tahu batasnya. Peringatan itu justru mengingatkanku bahwa alam selalu memiliki aturannya sendiri, dan kita hanya tamu yang harus menghormatinya.

Sore semakin turun ketika kami kembali ke apartemen untuk beristirahat. Namun petualangan hari itu belum berakhir. Menjelang malam, kami keluar lagi menuju Chinatown. Kawasan ini hidup dengan energi berbeda: lampu-lampu neon, aroma masakan Asia, dan hiruk pikuk penduduk kota yang menikmati akhir pekan. Suasana seperti ini membuatku merasa seolah sedang pulang ke kampung halaman yang lain—tempat di mana bahasa, rasa, dan aroma terasa akrab.

Ada restoran Indonesia di beberapa titik. Varian teh kemasan, minyak kayu putih, dan berbagai jajanan Nusantara berjajar rapi di etalase toko Asia. Kota asing bisa terasa sangat dekat ketika kita menemukan jejak rumah di dalamnya. Kami memilih makan di D’Penyetz & D’Cendol. Menu ayam penyet, tahu-tempe, cumi goreng tepung, hingga iga bakar yang disempurnakan dengan nasi putih terasa begitu menyenangkan, terutama setelah seharian lidah kami dimanjakan dengan roti dan kentang.

Duduk di salah satu kursi panjang dekat Town Hall, kami menikmati suasana malam: suara musik dari restoran, percakapan para pejalan kaki yang riuh, dan angin yang semakin kencang. Kedua anakku terlibat obrolan serius tentang itinerary esok hari. Memandangi mereka—dua anak yang dulu kecil dalam dekapan, kini tumbuh menjadi pribadi yang merencanakan perjalanan keluarga. Ada rasa haru yang sulit dijelaskan.



Ketika angin semakin menusuk, kami memutuskan kembali ke apartemen. Mengantarkan anak gadis hingga bus stop sebelum ia kembali ke tempat tinggalnya. “Aku sewanya untuk tiga orang, Ma,” ujarnya. Aku sempat memaksanya agar menginap bersama kami, tetapi ia menolak halus. Ada aturan ketat di sini tentang menginap. “Besok pagi, Ma sudah ketemu lagi,” katanya meyakinkan.

Kata-katanya sederhana, tetapi menenangkan.

Di kota pelabuhan yang jauh dari rumah ini, aku belajar bahwa kebersamaan tidak selalu berarti tinggal dalam satu atap, tetapi hadir satu sama lain—dengan cara yang dewasa, bertanggung jawab, dan penuh kasih.

Sydney memberi kami banyak hal hari itu: pemandangan indah, pengalaman baru, rasa syukur, dan terutama kesadaran bahwa setiap perjalanan kecil memiliki ruang untuk refleksi. Bahwa hidup adalah rangkaian langkah sederhana yang jika dirangkai dengan kehangatan, akan menjadi cerita berharga yang disimpan bertahun-tahun.

Dan ya, esok paginya, kami memang bertemu lagi. Dengan bahagia, dengan rencana baru, dan dengan hati yang lebih penuh.

Malang, 19 November 2025


Post a Comment

0 Comments