Menapaki Perjalanan Menuju Completion Ceremony

Ada perjalanan yang dimulai jauh sebelum kita menaiki pesawat, bahkan sebelum tiket terbit atau visa disetujui. Ada perjalanan yang dimulai dari percakapan singkat di ujung telepon, dari satu kalimat sederhana yang mengetuk ruang hati seorang ibu: “Ma, acara completion sekitar bulan November, tapi tanggalnya belum pasti.” Kalimat itu terdengar seperti angin lembut yang membuka lembaran baru dalam hidup kami—lembaran yang berisi harap, persiapan, kecemasan kecil, dan tentu saja, kebahagiaan yang memancar dari keberhasilan anak gadis dalam menapaki masa depan.

Tiga bulan sebelum tanggal yang belum pasti itu, kami mulai mengurus visa. Aku dan adiknya menyerahkan dokumen melalui agen, mengumpulkan berkas satu per satu seperti menata mozaik mimpi yang akan segera dirayakan. Dalam setiap formulir yang diisi, terdapat sebaris doa agar semuanya dipermudah. Dalam setiap tanda tangan, ada harapan agar perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan spiritual kami sebagai orang tua yang ingin menyaksikan buah hati kami menyelesaikan sebuah fase penting dalam hidupnya.

Beberapa hari kemudian, permohonan visa kami akhirnya diajukan. Lalu, dua pekan menunggu dengan campuran cemas dan optimis, hingga kabar itu datang: visa disetujui. Aku menarik napas panjang, seakan melepas beban yang selama dua minggu berdiam di dada. Ibarat pintu yang telah terbuka, segala langkah berikutnya terasa lebih pasti.

Anak gadis pun mulai berburu tiket. Rute Denpasar–Sydney dipastikan, menggunakan Qantas saat berangkat dan Garuda Indonesia saat pulang. Kami mengira semuanya sudah rapi seperti garis lurus yang tinggal diikuti. Namun perjalanan memang tidak pernah berjalan sesederhana garis lurus.

Satu pekan kemudian, pesan itu datang: penerbangan kepulangan ditunda sehari. Opsi yang diberikan: refund atau mengganti maskapai. Padahal cutiku dan suami sudah diajukan, jadwal sudah ditata, dan waktu kepulangan tidak bisa diundur. Kami duduk bersama, mempertimbangkan dengan kepala dingin tapi juga dengan degup jantung yang meningkat. Akhirnya kami putuskan mengganti maskapai menjadi Qantas juga. Konsekuensinya, kami akan tiba di Denpasar malam hari dan harus menginap sebelum melanjutkan penerbangan pertama ke Juanda keesokan paginya. Perjalanan pulang menjadi lebih panjang, tetapi aku percaya, setiap perjalanan memiliki alurnya sendiri—dan seringkali, alur itu adalah cara Allah membentuk kesabaran kita.

Tiket domestik Surabaya–Denpasar sudah terbooking lebih dulu. Hotel untuk transit di Denpasar juga sudah dipesan. Setidaknya, bagian itu selesai. Tapi akomodasi selama kami berada di Sydney masih menjadi teka-teki. Di tengah hiruk pikuk tugas akhir semesternya, anak gadis tetap berusaha mengirimkan foto dan video lokasi yang berpotensi menjadi tempat kami tinggal. Ada yang bagus, tetapi tanggalnya tidak cocok. Ada yang strategis, tapi ternyata sudah dibooking orang lain. Proses itu seperti latihan kecil untuk menerima bahwa tidak semua hal datang dalam satu waktu—bahwa sesuatu yang baik kadang memang membutuhkan kesabaran ekstra.

Lalu, lima hari sebelum keberangkatan, kami mengikuti sesi pre-departure bersama agen. Malam itu, pukul 19.00, kami bertiga membuka perangkat masing-masing. Bu Yuli menjelaskan dengan detail apa saja yang harus dipersiapkan: dokumen, barang bawaan, aturan cairan, proses imigrasi, serta apa saja yang boleh dan tidak boleh dibawa saat memasuki Australia. Kami menyimak dengan seksama, terutama bagian tentang deklarasi makanan—karena selama ini kami sudah sering mendengar betapa ketatnya Australia dalam urusan itu.

“Cairan harus maksimal 100 ml, ya Bu, dan dimasukkan ke plastik transparan.”
Kalimat itu kucatat baik-baik.

Lalu terngiang lagi pesan anak gadis yang disampaikan jauh sebelum sesi itu: “Ma, tidak boleh ada tanah di sepatu ya, nanti kena denda.”
Begitulah ia, selalu teliti dalam mengingatkan—sebuah tanda bahwa ia tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab, mandiri, dan penuh perhatian.

Pesan lainnya membuatku tersenyum haru:
Mama jangan lupa bawa botol kosong, di sini nda ada bidet. Sebelum masuk toilet, isi dulu botolnya.”
Kalimat sederhana, tapi penuh kepedulian. Ada kasih sayang dalam bentuk yang paling jujur dan paling lembut.

Dua hari sebelum keberangkatan, akhirnya tempat tinggal kami selama di Sydney berhasil dibooking. Rasa syukur memenuhi dada. Anak gadis bahkan sudah menyiapkan itinerary empat hari untuk kami—lengkap, terstruktur, dan penuh semangat memperkenalkan kota yang menjadi saksi perjuangannya selama 2 tahun terakhir.

Betapa perjalanan ini sebenarnya bukan hanya tentang terbang ke Sydney untuk menghadiri completion ceremony. Ini tentang melihat perjalanan panjang seorang anak yang tumbuh dari hari ke hari. Tentang melihat bagaimana ia belajar, bertahan, berjuang dari jauh, dan kini mencapai sebuah tahap yang layak dirayakan. Tentang bagaimana kami sebagai orang tua mengumpulkan keberanian melepaskan, sembari tetap mendampingi dari jarak yang sangat jauh.

Saat mulai melipat pakaian untuk dimasukkan ke koper, hatiku terasa penuh antara haru dan bangga. Ada banyak perjalanan yang kami lakukan dalam hidup ini—perjalanan dinas, perjalanan studi, perjalanan keluarga. Namun perjalanan kali ini terasa berbeda. Ada dimensi emosional yang begitu luas, yang melampaui jarak ribuan kilometer yang akan kami tempuh dengan pesawat.

Masih teringat bagaimana dulu, saat ia masih kecil, aku menuntunnya memegang pensil, menemani belajar, atau mengantar ke sekolah meski hanya sepekan sekali karena tempat kerjaku yang berjarak 100 km. Kini, ia yang banyak menuntunku: apa yang harus dibawa, apa yang harus diperhatikan, bagaimana aturan masuk negara yang menjadi tempat ia menimba ilmu. Rasanya seperti melihat sebuah lingkaran yang perlahan lengkap—lingkaran kehidupan yang memperlihatkan bagaimana seorang anak tumbuh sambil tetap mencintai, dan bagaimana seorang ibu belajar melepas dengan penuh doa.

Bismillahi tawakkalna ‘alallah.
Kulantunkan dalam hati berkali-kali menjelang keberangkatan. Pada akhirnya, semua perjalanan bermuara pada kepercayaan. Kepercayaan kepada Allah yang menggenggam seluruh takdir, kepercayaan kepada proses yang telah kami lalui, dan kepercayaan kepada anak gadis yang telah tumbuh begitu dewasa dalam perantauannya.

Ya Allah, berkahi dan ridhoi perjalanan ini—perjalanan menuju momen penting dalam hidup anak kami, perjalanan keluarga kecil kami yang penuh harap dan syukur.

Saat kaki kami menapaki tanah Sydney nanti, bukan hanya pesawat yang mendarat. Hati kami pun akan mendarat pada kesadaran baru tentang betapa indahnya perjalanan hidup yang Engkau atur, Ya Rabb—dengan segala kejutan, pelajaran, dan keberkahan yang menyertainya.

Malang, 14 November 2025

Post a Comment

0 Comments