Ada perjalanan yang tercatat bukan melalui tiket dan boarding pass, tetapi melalui debar hati dan bisikan doa. Perjalanan yang tidak sekadar memindahkan raga dari satu kota ke kota lainnya, tetapi memindahkan perasaan seorang ibu ke ruang-ruang hening yang dipenuhi kekhawatiran, harapan, dan cinta tanpa syarat. Itulah perjalanan solo yang kulalui di penghujung tahun lalu, ketika anak gadisku memutuskan untuk pulang ke tanah air di sela studi magisternya di Benua Kanguru.
Bepergian
seorang diri sebenarnya bukan hal baru bagiku. Tapi kali ini terasa berbeda
sejak mendengar suaranya di ujung telepon, “Ma, pesawatku landing jam 8 malam
di Ngurah Rai.” Ada sesuatu yang mencelos. Tidak ada penerbangan lanjutan ke
Surabaya malam itu. Itu berarti anak gadisku harus bermalam sendirian—dan itu
saja sudah cukup menggerakkan langkah seorang ibu untuk tak tinggal diam.
Tanpa
menunggu lama, kuburu tiket menuju Denpasar dan mencari hotel terdekat dari
bandara, yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Aku bahkan memeriksa rute
kaki dari bandara ke hotel lewat Google Maps, memastikan tidak ada gang yang
membingungkan atau jalan gelap yang menyulitkan. Dalam hatiku, ada ketegangan
yang hanya seorang ibu dapat rasakan ketika membayangkan anak perempuannya
berjalan sendiri di kota asing pada malam hari.
Pesawatku
mendarat sekitar pukul lima sore. Dari pintu keluar, aku mengikuti arus pejalan
kaki, menolak berbagai tawaran taksi dan ojek online yang berkali-kali
menghampiri. Langkahku kukuh, seolah telah diatur oleh intuisi seorang ibu yang
tahu ke mana harus menuju. Dari masjid bandara, kulanjutkan perjalanan pendek
melalui sebuah gang kecil hingga akhirnya tiba di hotel. Hotel sederhana, dua
lantai tanpa lift, tetapi cukup untuk melepas lelah dan menunggu anakku tiba
dengan tenang.
Menjelang
Maghrib, lantunan azan dari masjid bandara memantul di dinding-dinding hotel.
Saat itulah pesan masuk: pesawat anakku sudah landing. Bergegas kuturun ke
resepsionis untuk menanyakan moda penjemputan. Namun ternyata mobil hotel masih
menjemput tamu lain. Tak ingin menunggu, kuputuskan kembali berjalan kaki
menuju terminal internasional. Malam mulai menguning. Lampu-lampu kendaraan
mempertegas hiruk pikuk penjemputan. Aku berjalan cepat, sambil menahan harap
semoga ia segera muncul.
“Ma, aku
haus. Bawa air ya.” Pesannya masuk, sederhana tapi langsung membuatku
tersenyum.
Hingga
akhirnya wajah itu muncul dari kejauhan—wajah yang selalu kukenali, bahkan di
tengah keramaian bandara. Senyumnya lebar ketika melihatku mengulurkan botol
air mineral.
“Capek aku,
Ma, jadi independent. Sekarang ada Mama. Sudah ya Ma… jadi anak Mama lagi.”
Ucapannya membuat tawa keluar begitu saja, menghangatkan sisa malam yang
tersisa.
Pagi
harinya, destinasi pertama kami bukan café modern atau restoran mahal,
melainkan warung Tegal yang jaraknya hanya dua menit berjalan kaki. “Kangen
gorengan,” katanya sambil menyodorkan amplop kecil berisi rupiah sisa uang
sangu pemberian keluarga. Ada kepolosan, ada kemandirian, ada rasa haru yang
sulit dilebur.
Kami tiba di
Bali menjelang siang. Setelah makan dan beristirahat sejenak, kami menuju
musola, kemudian menunggu buggy car yang akan membawa kami ke terminal
internasional. Bandara siang itu penuh sesak. Kursi-kursi terisi, suara
pengumuman bercampur langkah penumpang dari berbagai negara. Namun di antara
hiruk pikuk itu, kami menemukan dua kursi kosong. Di sanalah kami duduk selama
tiga jam, berbincang tentang banyak hal—masa depan, kuliah, cerita kecil,
bahkan hal-hal sepele yang tiba-tiba terasa berarti karena sebentar lagi jarak
kembali memisahkan kami.
Namun tak
kusangka, ketika tiba di bandara domestik, ternyata penerbangan delay
berjam-jam. Ruang tunggu yang awalnya penuh perlahan kosong. Gerai-gerai
menutup satu per satu. Lampu-lampu diredupkan. Tinggallah aku dan para
penumpang yang nasibnya sama—menunggu dalam ketidakpastian. Di sudut lain,
beberapa anak kecil yang tadinya berlarian kini mulai kelelahan. Tangisan satu
anak kecil mengalir menjadi gelombang tangis anak-anak lain. Hening perlahan
menyelimuti ruang itu saat mereka akhirnya tertidur di pangkuan orang tua
masing-masing.
Sementara
itu, pesan dari anakku masuk: ia sudah di pesawat dan siap terbang. Ada sesal
kecil yang menggelitik—mengapa tadi aku tak menunggu hingga proses check-in-nya
selesai?
Menjelang
tengah malam, akhirnya ada pengumuman: pesawat siap berangkat. Wajah-wajah
lelah bergerak perlahan menuju gate lain. Aku mengikuti arus, menanggalkan senyum
dengan tubuh yang sudah letih.
Ketika
pesawat akhirnya mengudara, guncangan kecil terasa lebih menegangkan dari
biasanya. Bunyi-bunyi asing dari mesin membuat mataku yang tadinya hampir
terpejam kembali waspada. Dalam hati, doa keselamatan terus mengalir tanpa
jeda. Hingga akhirnya lampu kota Surabaya menyambut dari kejauhan.
Alhamdulillah, kami kembali mendarat dengan selamat.
Saat
melangkah keluar dari pesawat, satu hal berputar di benak: “Cukup, tidak akan
lagi kupilih maskapai ini.” Delay panjang, kecemasan selama penerbangan, dan
kelelahan yang menumpuk meninggalkan catatan tersendiri dalam perjalanan kali
ini.
Namun, di
balik segala kerumitan, perjalanan solo ini menghadirkan warna yang tak mungkin
kulupakan. Ada rasa cemas, ada harap, ada tawa, ada kesendirian, ada rasa
rindu, dan ada kebahagiaan yang sederhana namun dalam: kebahagiaan karena tetap
bisa hadir bagi putriku, meski hanya dalam bentuk botol air mineral, obrolan
sejenak di kursi bandara, atau sekadar memastikan ia tidak bermalam sendirian.
Perjalanan
ini memberiku satu makna penting: menjadi ibu adalah perjalanan solo yang
sejatinya tak pernah benar-benar sendirian. Ia penuh cinta, doa, dan keberanian
yang muncul tanpa diminta. Kadang penuh lelah, kadang penuh gelisah, tetapi
selalu penuh makna—karena setiap langkahnya adalah langkah menuju anak-anak
kita, entah secara fisik, ataupun dalam ruang kecil bernama hati.
Inilah
perjalanan solo yang sesungguhnya—perjalanan yang paling indah, meski penuh
warna dan air mata kecil di balik senyuman. Karena pada akhirnya, menjadi ibu
adalah perjalanan tanpa akhir, tanpa jeda, tanpa syarat, dan selalu ingin
kembali pulang: pulang kepada anak-anak yang kita cintai.


0 Comments