Sydney dan Wisata Belanja

Pagi itu, begitu pintu apartemen terbuka, hembusan angin Sydney langsung menyapa dengan begitu tegas seakan berkata, “Selamat datang di hari baru.” Enam belas derajat celcius, tapi matahari bersinar tanpa ragu. Kombinasi yang membingungkan sekaligus memikat: langit cerah, namun angin mampu menembus lapisan pakaian dan menyengat lembut kulit, membuat kami menarik napas panjang sebelum benar-benar memulai langkah. Hari itu adalah hari wisata belanja, tetapi sebetulnya jauh lebih dari itu—ia menjadi perjalanan kecil tentang budaya, keramahan, dan kebersamaan.

Tujuan kami adalah Birkenhead Point, sebuah pusat perbelanjaan outlet yang terletak di tepi marina Drummoyne. Untuk ke sana, kami memilih menaiki bus dari Haymarket. Ada sensasi berbeda ketika menunggu di bus stop di negeri orang: ritmenya lain, hiruk pikuknya lain, bahkan anginnya pun seperti punya suara tersendiri. Ketika bus datang, kami mengetuk Opal Card—tap in saat naik, tap out saat turun—sebuah kebiasaan sederhana yang menandai transisi kami sebagai penjelajah kota hari itu. Perjalanan dua puluh menit terasa begitu singkat, mungkin karena pemandangan kota yang terus berubah, atau mungkin karena percakapan ringan di antara kami yang menambah kehangatan di tengah udara dingin.


Birkenhead Point menyapa kami dengan dekorasi Natal yang meriah. Dari lantai satu hingga tiga, outlet-outlet brand ternama berjajar rapi. Ada maskot kijang yang berdiri tegak, Santa Claus yang menjadi pusat perhatian anak-anak, dan lampu-lampu Natal yang menggantung laksana serpihan cahaya kebahagiaan. Kami berjalan dari satu toko ke toko lain, memandangi rak-rak barang, membaca tag harga, lalu—secara otomatis—mengonversinya ke rupiah. Kebiasaan yang sepertinya tak pernah hilang, meski sedang berada ribuan kilometer dari rumah. “Duh, kalau dirupiahkan segini ya,” komentar kami sambil tertawa, seperti ritual kecil yang membuat perjalanan lebih hidup. 

Namun, di balik semua diskon dan dekorasi, ada sesuatu yang jauh lebih mencolok: keramahan Sydneysiders. “Hi, how are you?” “Halo.” “Thank you.” “Sorry.” Sapaan-sapaan ini meluncur begitu lembut dari para penjaga toko setiap kali kami melangkah masuk. Mereka tersenyum tulus, berbicara pelan, dan memberikan ruang bagi siapa pun yang datang. Di Sydney, kata “Sorry” ternyata penuh makna. Ia bukan hanya penanda permintaan maaf, tetapi juga bentuk sopan santun: permisi, memberi jalan, atau sekadar pengakuan kecil bahwa kita berbagi ruang dengan orang lain. 


Di salah satu gerai sepatu, mata kami menangkap label kecil yang terasa dekat: Made in Indonesia. Ada rasa bangga yang muncul tiba-tiba. Barang yang sedang dipilih para pelanggan bule itu ternyata berasal dari tanah air. Dunia rasanya mengecil untuk sesaat—Indonesia hadir di tengah Sydney, bukan hanya dalam diri kami, tetapi juga melalui produk-produk yang mengaburkan batas negara. 

Pelajaran tentang budaya lokal semakin nyata ketika kami menyaksikan bagaimana para pengendara memperlakukan pejalan kaki. Di sebuah gang kecil, kami hendak menyeberang sementara sebuah mobil melaju pelan. Suamiku masih berada sedikit di belakang, membuang sampah di tempat yang tersedia. Tanpa tergesa-gesa, pengendara itu berhenti. Dengan sabar, ia menunggu sampai kami benar-benar menyeberang. Satu anggukan tangan kecil kami balas dengan telapak tangan yang terangkat sebagai ucapan terima kasih. Di Sydney, pejalan kaki adalah raja—bukan karena aturan tertulis, tetapi karena budaya menghormati sesama. 

Setelah menghabiskan beberapa waktu menikmati suasana mall, kami kembali menaiki bus menuju Haymarket. Perut mulai memberontak, menuntut perhatian setelah seharian berjalan. Tujuan selanjutnya adalah 1915 Lanzhou Beef Noodles, restoran halal yang terkenal dengan mi tarik segarnya. Kuah panas yang beruap sangat cocok dengan udara Sydney yang semakin berangin. Setiap suapan menghadirkan kehangatan yang menjalar hingga ke ujung jari—seolah mengisi ulang energi kami. 

Selesai makan siang dan menunaikan salat Dhuhur, kami berjalan menuju Paddy’s Markets. Pasar ini memiliki sejarah panjang, dan bahkan sejak pertama kali melangkah ke dalamnya, suasananya langsung terasa berbeda: lebih riuh, lebih hidup, lebih “rumah”. Di antara percakapan dalam berbagai bahasa, obrolan berbahasa Indonesia terdengar sayup-sayup. Ketika kami berhenti di salah satu kios, seorang perempuan paruh baya menyapa dengan hangat, “Cari apa?” Sebagai sesama warga Jawa Timur, percakapan pun bergulir begitu alami dalam bahasa Jawa medok. Di tengah hiruk pikuk Sydney, suara bahasa ibu itu menjadi semacam pelukan tak terlihat—menghangatkan dan menenangkan. 

Kami kemudian membeli buah: jeruk, mangga, dan beberapa ikat baby pakcoy. Anak gadisku memandang beberapa harga dan terkaget, “Murahnya, Ma.” Rupanya, ia belum pernah berbelanja langsung di pasar ini meski sudah dua tahun di Sydney. Ada kebahagiaan tersendiri melihatnya menikmati hal-hal sederhana yang dulu sering ia lakukan di rumah. 

Petualangan hari itu belum selesai. Setelah salat Ashar, kami kembali ke Haymarket dan melanjutkan perjalanan menuju Broadway Sydney. Masa lalu dan masa kini bertemu di sini—dulu lokasi department store Grace Bros yang terkenal, kini pusat perbelanjaan modern yang dipenuhi toko, bioskop, dan pujasera. Coles di lantai dasar menjadi tujuan akhir kami. Kami memasukkan beberapa ready meal dan snack ke dalam troli, membayangkan bagaimana makanan-makanan ini akan menemani malam kami hingga esok hari di apartemen. 


Menjelang petang, kami berpisah di bus stop. Anak gadisku berjalan kembali ke tempat tinggalnya, sementara kami naik bus menuju apartemen. Ada rasa hangat yang mengalir pelan di dada melihatnya pergi—bangga, haru, dan sedikit rasa rindu yang datang bergantian. Hari itu bukan sekadar wisata belanja. Ia adalah potongan kecil dari perjalanan kami menyusuri kehidupan anak kami di negeri orang: bagaimana ia tumbuh, belajar, dan menemukan dunianya sendiri. 

Kami mengistirahatkan raga malam itu. Namun hati tetap sibuk merekam—wajah-wajah ramah, angin dingin yang setia menemani, jalanan kota yang bergerak lembut, dan percakapan-percakapan kecil yang begitu berarti. Sydney bukan sekadar kota pelabuhan yang cantik. Ia adalah tempat yang mengajarkan bagaimana kesederhanaan bisa menjadi bentuk kebaikan, bagaimana sapaan singkat bisa memulai kehangatan, dan bagaimana perjalanan sehari bisa berubah menjadi pengalaman mendalam. 

Besok, kami akan melangkah ke The University of Sydney—tempat anak gadisku menimba ilmu, berkembang, dan memperluas cakrawala berpikirnya selama dua tahun terakhir. Hari baru, cerita baru, dan refleksi baru menanti. Sydney memang kota yang tak pernah kehabisan cara untuk mengajarkan sesuatu. 

Malang, 21 November 2025









Post a Comment

0 Comments