Momen wisuda bukan sekadar penanda berakhirnya masa studi; ia adalah titik refleksi antara perjalanan intelektual, spiritual, dan sosial seseorang. Dalam suasana khidmat Wisuda ke-89 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Sabtu, 4 Oktober 2025, suasana haru dan bangga semakin terasa ketika salah satu wisudawan yang duduk di antara para lulusan adalah seorang menteri — Dr. K. H. Irfan Yusuf Hasyim, M.M., Menteri Haji dan Umrah Republik Indonesia. Kehadirannya bukan sekadar simbol kehormatan, melainkan pelajaran hidup bagi semua yang hadir.
Dalam sambutannya, beliau menyampaikan pesan yang menggugah
nurani:
“Saya tidak membutuhkan ijazah untuk mengejar apapun. Pertama
tentu saya mengejar ilmu yang saya peroleh, dan yang kedua, saya ingin memberi
semangat dan contoh kepada anak-anak saya — baik anak biologis maupun anak
ideologis — untuk terus belajar.”
Pernyataan ini terdengar sederhana, tetapi di dalamnya
terkandung filosofi besar: belajar tidak pernah selesai, dan ilmu bukan alat
untuk status, tetapi untuk kebermanfaatan.
Belajar di Usia Senja: Keteladanan yang Tak Pernah
Padam
Banyak orang menganggap pendidikan formal hanya milik anak
muda, bahwa masa belajar memiliki batas usia. Namun, Gus Irfan justru membalik
pandangan itu. Di tengah kesibukannya sebagai pejabat negara, beliau tetap
memilih untuk menjadi mahasiswa, duduk di kelas, membaca literatur,
menulis disertasi, dan menyelesaikan studi doktoral selama empat tahun penuh.
Beliau menegaskan, “Saya tidak butuh ijazah untuk kenaikan
pangkat. Saya bukan ASN. Ijazah ini tidak meningkatkan tunjangan saya. Tapi
saya ingin memberikan contoh kepada anak-anak saya bahwa belajar tidak dibatasi
usia.”
Pesan ini menyentuh inti dari konsep long life learning
— pembelajaran sepanjang hayat — yang menjadi nilai dasar dalam pendidikan
Islam dan modern sekaligus. Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan
umatnya: “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahad.” Maka,
belajar bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi ibadah yang meneguhkan
kemanusiaan.
Belajar di usia senja menuntut disiplin, ketulusan, dan keikhlasan yang tidak semua orang sanggupi. Ketika sebagian orang seusianya mungkin telah beristirahat dari kesibukan akademik, beliau justru menapaki jalan ilmu dengan penuh semangat. Di sinilah nilai keteladanan itu berakar — bukan pada posisi, tetapi pada kerendahan hati untuk terus belajar.
Dengan latar belakang pendidikan S1 dan S2 di bidang Manajemen
Bisnis, dan kini bergelar doktor di bidang Manajemen Pendidikan Islam, Gus Irfan
menunjukkan bahwa ilmu manajemen bukan sekadar urusan korporasi, tetapi seni
mengelola amanah.
Ia menjelaskan bahwa Kementerian Haji dan Umrah hanya 20% yang
berkaitan dengan hukum Islam, sementara 80%-nya adalah manajemen — manajemen
transportasi, fiskal, logistik, dan sumber daya manusia. Dalam konteks itu, apa
yang ia pelajari bukan hanya teori, tetapi menjadi knowledge in action —
ilmu yang hidup dan bekerja untuk kepentingan umat.
Pesan ini sekaligus menjadi refleksi bagi para wisudawan agar tidak memisahkan antara ilmu dan pengabdian. Sebab dalam Islam, ilmu sejati adalah yang melahirkan manfaat dan kemaslahatan. “Ilmu yang tidak diamalkan,” kata para ulama, “bagaikan pohon tanpa buah.”
Dalam refleksinya, Gus Irfan juga menyinggung kekagumannya
terhadap UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, yang kini dipimpin oleh dua sosok
perempuan — Rektor dan Ketua Senat Universitas. Ia menyebut hal ini sebagai
bukti nyata bahwa Islam tidak mengenal diskriminasi gender.
Di kampus Islam negeri ini, perempuan bukan hanya pelengkap,
tetapi pemimpin. Dalam suasana akademik yang menjunjung tinggi nilai-nilai
keilmuan dan spiritualitas, keberadaan dua “panglima perempuan” ini menjadi
teladan bahwa kesetaraan gender bukanlah narasi Barat yang diimpor, tetapi
bagian dari spirit Islam yang autentik.
Pernyataan Pak Menteri tersebut mengandung pesan mendalam
bahwa kesetaraan adalah bagian dari iman dan keadilan. Islam mengakui
kemampuan, bukan jenis kelamin; menilai ketakwaan, bukan perbedaan biologis.
UIN Malang dan Ekosistem Santri-Ilmuwan
Gus Irfan juga menyampaikan kekagumannya terhadap ciri khas
UIN Malang, yaitu sistem Ma’had Al-Jami’ah. Ia menyebut bahwa dari 800
wisudawan, 437 merupakan lulusan pesantren, dan jika ditambah dengan mahasiswa
Ma’had, hampir seluruh lulusan UIN Malang adalah santri.
Hal ini menunjukkan bahwa UIN Malang berhasil merawat tradisi tafaqquh
fi al-din (pendalaman agama) di tengah kemajuan ilmu modern. Kampus ini
bukan hanya mencetak sarjana, tetapi membentuk insan berilmu yang berakhlak, ulul
albab — mereka yang berpikir mendalam dan berjiwa spiritual.
Ilmu, Iman, dan Amal: Trilogi Kehidupan
Pesan terakhir Pak Menteri kepada para wisudawan sarat dengan
makna filosofis:
“Kami ingin para santri dan wisudawan ini memiliki posisi
penting dan peran nyata di seluruh Indonesia. Tapi ingat, yang paling
berbahagia hari ini bukan hanya yang diwisuda, melainkan mereka yang menunggu.”
Kalimat itu terasa sederhana, namun menyiratkan pesan
spiritual: kebahagiaan sejati tidak hanya milik mereka yang mendapat gelar,
tetapi juga milik orang-orang yang mendukung, mendoakan, dan menanti
keberhasilan dari jauh — orang tua, guru, pasangan, bahkan masyarakat yang
menaruh harapan.
Dalam pesan itu, terkandung ajaran tentang rasa syukur,
kerendahan hati, dan kesadaran sosial. Ilmu bukan untuk meninggikan diri,
melainkan untuk menebar manfaat.
Inspirasi dari Seorang Pembelajar Sejati
Kisah Dr. K. H. Irfan Yusuf Hasyim adalah potret seorang ulul
albab masa kini: pejabat negara yang tetap menjadi murid, menteri yang
tetap haus ilmu, pemimpin yang belajar dari pengalaman dan kitab sekaligus.
Pesan beliau menegaskan bahwa ilmu tidak berhenti di ruang
kuliah, tetapi terus berlanjut dalam ruang kehidupan. Bahwa kemuliaan seseorang
bukan diukur dari jabatannya, tetapi dari kesungguhannya dalam mencari ilmu dan
mengamalkannya.
Di hadapan para wisudawan, ia tidak hanya menyampaikan
kata-kata, tetapi menghadirkan contoh nyata bahwa belajar sepanjang hayat bukan
idealisme kosong, melainkan jalan pengabdian.
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang patut berbangga, karena pada
wisuda ke-89 ini, bukan hanya meluluskan sarjana, tetapi juga meneguhkan satu
pesan abadi:
Belajar tidak mengenal usia. Belajar adalah ibadah. Dan ilmu
adalah warisan terbaik bagi umat manusia.



0 Comments