Kamis, 30 Oktober 2025, menjadi momentum penting bagi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Di lantai empat Rumah Singgah Kampus 2, para akademisi, aktivis, dan ulama perempuan dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul dalam Seminar Nasional dan Konferensi Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) bertema “Menuju Kampus Inklusif: Memperkuat Peran Ulama dan Akademisi dalam Pemenuhan Hak-Hak Disabilitas.”
Acara ini tidak sekadar forum ilmiah, melainkan ruang refleksi
kolektif yang menguji komitmen kita terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan,
dan kesetaraan. Di tengah geliat kampus yang terus bertumbuh, UIN Malang
menegaskan langkah konkretnya menuju ruang akademik yang benar-benar ramah bagi
semua: perempuan, laki-laki, lintas etnis, lintas agama, dan terutama bagi
saudara-saudara difabel.
Dalam sambutannya, Rektor UIN Malang, Prof. Dr. Ilfi Nur Diana, M.Si., menegaskan bahwa visi universitas – mewujudkan masyarakat yang rukun, maslahat, dan cerdas – hanya akan bermakna apabila diwujudkan dalam sistem yang benar-benar inklusif. Ia menyampaikan, misi universitas bukan hanya menjadi kampus ramah perempuan, tetapi juga ramah difabel dan terbuka bagi siapa pun yang ingin menuntut ilmu.
Di balik data dan kebijakan, Rektor mengingatkan sebuah
realitas yang masih menyisakan pekerjaan rumah besar: dalam tiga tahun
terakhir, penelitian dan pengabdian masyarakat yang mengangkat isu gender dan
disabilitas masih sangat minim. Begitu pula dengan akses beasiswa: dari 2.500
penerima, belum ada satu pun mahasiswa difabel yang memperoleh kesempatan
tersebut. Karena itu, ia mengumumkan kebijakan afirmatif: “Golden Ticket bagi
calon mahasiswa difabel — gratis Mahad dan UKT.”
Pernyataan itu disambut hangat oleh peserta. Bukan sekadar
janji, tapi bukti komitmen bahwa inklusi bukan slogan, melainkan praksis. UIN
Malang juga meluncurkan Pusat Studi Gender dan Anak Difabel (PSGAD) — wadah
baru untuk riset, advokasi, dan edukasi yang berpihak pada hak-hak kelompok
disabilitas.
“Kami tidak memberikan janji, tapi kami memberikan bukti,” tegas
Rektor saat meresmikan PSGAD.
Membaca Ulang Teks, Menafsir Ulang Realitas
Dr. Hj. Badriyah Fayumi, Lc., M.A., Ketua KUPI, dalam
sambutannya menyoroti pentingnya penafsiran ulang tentang thaharah dan
aksesibilitas bagi disabilitas. Dalam konteks fikih, praktik bersuci sering
kali diasumsikan berdasarkan kemampuan fisik ideal. Namun, bagaimana jika
seseorang tidak mampu berwudu atau mandi karena keterbatasan fisik? Di sinilah,
katanya, kehadiran ulama perempuan dan akademisi menjadi penting untuk
menghidupkan kembali semangat rahmatan lil ‘alamin dalam tafsir dan
praktik keagamaan.
Sesi pertama seminar dibuka oleh oleh Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm,
dari Dewan Musyawarah KUPI. Ia menjelaskan bahwa bias kognitif sering
membuat masyarakat keliru memahami disabilitas — melihatnya sebagai kekurangan,
bukan keberagaman.
“Disable bukan berarti tidak mampu, tetapi karena kebutuhan
khusus seseorang tidak difasilitasi oleh lingkungan,” ujarnya.
Dalam kerangka ini, disabilitas bukanlah aib atau
ketidaksempurnaan, melainkan ujian sosial: apakah masyarakat mampu berlaku adil
dan memanusiakan sesama. Nur Rofiah menegaskan, difabel adalah khalifatullah
fil ardh — subjek penuh kemanusiaan, bukan warga kelas dua.
Ia juga memperingatkan bahaya ableism, yaitu cara pandang yang
mengagungkan kesempurnaan fisik dan merendahkan mereka yang berbeda. Dalam
pandangan Islam, kemuliaan tidak ditentukan oleh kemampuan tubuh, melainkan
oleh takwa dan akhlak. Maka, keadilan bagi difabel bukan kemurahan hati, tetapi
keniscayaan iman.
Pemikiran ini diperkuat oleh Nurul Sa’adah, S.H., M.H., Ketua SAPDA
(Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak). Ia mengurai dasar hukum dalam UU
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang membagi disabilitas
dalam kategori fisik, intelektual, mental, sensorik, dan ganda.
Namun, lebih dari sekadar klasifikasi, Nurul Sa’adah
menekankan bahwa penyandang disabilitas memiliki identitas yang berlapis dan
kompleks — mereka bisa menjadi perempuan, ibu, pekerja, dan anggota masyarakat
yang beragam. Karena itu, aksesibilitas harus mencakup semua aspek: pendidikan,
hukum, media, dan fasilitas publik.
Ia mencontohkan bagaimana Juru Bahasa Isyarat (JBI) dalam
berita televisi dan running text di ruang publik bukan sekadar pelengkap,
tetapi simbol pengakuan hak untuk berpartisipasi.
Kampus Sebagai Ruang Pembebasan
Sesi berikutnya, Prof. Dr. Arif Maftuhin, M.Ag., MAIS dari UIN
Sunan Kalijaga, berbagi pengalaman kampusnya dalam membangun layanan inklusi.
Ia menceritakan bagaimana mahasiswa tuli didampingi note taker dan
adanya layanan bahasa isyarat dalam khutbah Jumat sejak 2013.
“Inklusi itu berat jika tidak ada niat,” katanya dengan tegas.
Dari Ilmu ke Empati: Ulama Perempuan dan Advokasi
Rangkaian acara diakhiri dengan Lokakarya Jaringan Ulama
Perempuan, dipandu oleh Dr. KH. Marzuki Wahid, M.A. Di sini, peserta diajak merenungkan
kembali makna perjuangan dalam perspektif ulama perempuan: bukan sekadar
gerakan berbasis ilmu, tetapi juga pengalaman dan empati.
“Jangan jadi OMDO — Omong Doang. Jangan pula NATO — No Action Talk Only,” seru KH. Marzuki mengingatkan, disambut tawa dan tepuk tangan peserta.
Diskusi berlangsung hangat, menyentuh isu-isu nyata seperti bullying,
stigma, dan kurangnya empati sosial terhadap penyandang disabilitas.
Ulama perempuan menegaskan bahwa advokasi tidak boleh berhenti pada teori; ia
harus menyentuh kebijakan dan perilaku sehari-hari.
Penutup: Dari Rumah Singgah ke Rumah Kemanusiaan
Seminar ini memang berlangsung di Rumah Singgah, tapi maknanya
jauh melampaui ruang fisik itu. Ia menjadi simbol: bahwa setiap dari kita —
apapun latar belakang dan kemampuannya — berhak “singgah” di rumah ilmu, iman,
dan kemanusiaan.
UIN Malang telah menapaki langkah pertama untuk menjadi kampus
inklusif, bukan dengan wacana, melainkan dengan komitmen nyata. Kini, tugas
kita bersama adalah memastikan agar gerakan ini terus berlanjut, tidak berhenti
pada seremoni.
Sebab, sebagaimana diingatkan oleh para ulama perempuan hari
itu:
“Kita tidak sedang mengistimewakan penyandang disabilitas.
Kita sedang menegakkan keadilan.”
Dan keadilan, dalam pandangan Islam, adalah nama lain dari
cinta — cinta yang menolak untuk melihat siapa pun tertinggal di belakang.
Malang, 1 November 2025







0 Comments