Pandemi dan Kehilangan

            Tepat sepekan berlalu. Pagi itu azan Subuh belum berkumandang. Jarum jam hampir menunjuk angka empat. Sebuah pesan dari keponakan suami yang mengabarkan bahwa mamahnya, teteh suami, sedang mengalami sesak napas. Dua hari terakhir, Teh Kaji dirawat di rumah sakit setelah dinyatakan positif terpapar Covid-19. Sebelum dirawat, Teh Kaji dan suami masih berkomunikasi via telepon. Keduanya saling bertukar kabar sedang dalam kondisi kurang sehat. Percakapan ditutup dengan pesan saling menjaga kesehatan dan mendoakan satu sama lain.

Menit menit berikutnya semakin mencekam. Keponakan menginformasikan bahwa kondisi mamahnya semakin menurun hingga kehilangan kesadaran. Dan di saat jam digital menunjukkan pukul 10.27, kabar duka itu datang. Innalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Beberapa saat lamanya, suamiku tenggelam dalam kesedihan. Kehilangan orang terdekat selalu menyesakkan. Ekspresi yang sama ketika Bapak tutup usia 18 tahun silam. Bedanya, saat itu suami bisa mengejar penerbangan pagi dan memberikan penghormatan terakhir. Sementara saat ini, PPKM darurat diberlakukan, penyekatan jalan di berbagai titik, dan pandemi yang belum juga melandai. Situasi tidak memungkinkan untuk memangkas jarak 800 km menuju tanah kelahiran suami.

Semesta seakan berkonspirasi pada Sabtu yang kelabu. Awan menggantung, mentari sejak pagi malu-malu bersembunyi. Aura kesedihan masih menguar, namun berita duka kembali datang. Calon besan Teh Kaji menghembuskan nafas terakhir 16 menit kemudian di rumah sakit yang sama. Besok adalah hari yang dipilih keluarga Teh Kaji dan calon besan untuk menggelar pernikahan putra putrinya. Undangan kepada kerabat dan keluarga terdekat sudah disampaikan. Teh Kaji bahkan sudah memberikan tugas kepada suami sebagai perwakilan keluarga dari mempelai laki-laki sejak sebulan yang lalu. Manusia merencanakan, Allah menentukan.

Sisa hari itu, aku habiskan di samping suami. Kondisinya yang kurang sehat ditambah dengan kesedihan yang mendalam membuatnya enggan untuk makan meskipun waktu makan siang sudah berlalu. Alarm imajiner menjerit meningkatkan kewaspadaaanku. Telat makan bagi suamiku bukan opsi yang bisa dipilih. Serangan mual itu akhirnya datang bertubi-tubi. Minyak kayu putih dan tisu menjadi teman setia. Hingga malam menjelang, suamiku hanya sanggup makan 3 sendok bubur dan minum segelas air hangat.

Pandemi menyisakan ragam cerita kehilangan dan kesedihan. Beberapa hari terakhir, ada sahabat, kolega, dan kerabat yang kehilangan orang-orang terkasih akibat Covid-19. Perjuangan mereka dalam proses pengobatan harus berakhir dengan perpisahan. Saya tidak paham tentang teori konspirasi Covid-19, apalagi perdebatan medis yang sedang viral. Tapi sebatas pengetahuan saya, pandemi masih terus berjalan. Protokol kesehatan 3M, 5M, hingga 6M adalah bentuk ikhtiar agar kita dan keluarga terhindar dari paparan virus.

Sumber: www.kompas.com

“Di rumah saja Nduk, jangan ke Ibu dulu. Banyak orang meninggal beruntun di sini,” pesan ibu kepadaku di awal pemberlakuan PPKM darurat.

Agenda rutin berkunjung ke rumah ibu di akhir pekan pun ditunda. Saya dan keluarga mengurangi mobilitas dan memilih di rumah saja. Keluar rumah untuk belanja kebutuhan pokok setiap pekan. Selebihnya menghabiskan waktu bersama di rumah. Saya, suami, adik, ipar, ayah dan ibu saya yang sudah sepuh juga sudah divaksin. Usaha maksimal seyogyanya dibarengi dengan doa. Ratibul Haddad dan wirdul Latif sebisa mungkin kami istiqamahkan.

Ikhtiar lahir dan batin adalah sebuah keniscayaan di tengah pandemi. Semoga kita dan keluarga selalu diberi kesehatan, kekuatan, dan keberkahan.

Malang, 17 Juli 2021

Post a Comment

2 Comments

  1. Ikhtiar maksimal, semoga bumi segera membaik.


    Tulisannya mengalir dan menarik Bu.

    ReplyDelete