“Apa hubungannya menulis dan memasak?”
Bagi saya, menulis tidak jauh berbeda dengan memasak. Dalam memasak
ada beberapa tahapan yang harus dilakukan. Diawali dengan merencanakan menu apa
yang akan dimasak. Selanjutnya belanja bahan-bahan masakan di pasar, pak sayur,
atau mlijo. Sayur mayur menghijau dan buah-buahan segar yang merona
adalah godaan yang acapkali membuat saya khilaf dalam belanja. Membeli beberapa
ikat sayur, padahal hanya 1-2 ikat saja yang mampu dikonsumsi dalam sehari. Berbelanja
bahan di luar menu yang direncanakan. Atau bahkan lupa membeli bahan yang diperlukan
untuk membuat olahan.
Menghindari kekhilafan berulang ketika belanja, saya membuat
catatan sebelum keluar rumah. Catatan yang bisa menjadi pedoman ketika belanja.
Memastikan tidak ada bahan yang terlupakan.
Sebelum menulis, saya juga perlu belanja. Caranya dengan
membaca. Ada banyak materi yang bisa dibaca baik hardfile maupun softfile.
Membaca buku biasanya saya lakukan sambil memberikan tanda pada bagian yang
saya anggap penting. Mencatat poin-poin hasil bacaan, saya lakukan di handphone
atau laptop. Membaca dan mencatat adalah tahap awal untuk menulis. Selain buku,
materi webinar dengan topik menarik dan narasumber yang kompeten juga bisa
menjadi media belanja bahan untuk menulis. Konten youtube yang
inspiratif termasuk bahan yang bisa dituangkan dalam catatan.
Saya teringat dengan uraian Pak Emcho pada kegiatan
Launching Sahabat Pena Kita (SPK) Tulungagung. Dosen Unesa, pegiat literasi,
dan penulis 42 buku itu menyampaikan bahwa manusia adalah makhluk yang banyak
lupanya. Ide harus dicatat. Untuk menulis sebaiknya telaten mencatat apa yang
muncul dalam pikiran. Jangan remehkan ide kebetulan, itu ide yang luar biasa. Jangan
abaikan, dicatat. Membuat catatan dalam handphone atau media lain.
Dalam menulis, saya mengawali dengan judul dan ini bisa mengalami
perubahan. Setelah itu saya ketik poin-poin apa yang ingin saya tulis. Sumber bacaan
juga saya ketik untuk memudahkan ketika proses menulis. Catatan ini bisa
menjadi rambu-rambu dalam menulis.
Semangat belanja seharusnya berbanding lurus dengan gairah untuk
memasak. Nyatanya kadangkala saya berhenti di tahap belanja dan tidak antusias
untuk melanjutkan ke jenjang memasak. Kesibukan melaksanakan perkuliahan
daring, melayani bimbingan mahasiswa, atau terlena nonton film seringkali jadi alasan
pembenar untuk tidak memasak. Namun, energi untuk memasak kembali muncul ketika
kedua anak saya melontarkan pertanyaan yang sama di tengah hari saat istirahat dari
pembelajaran daring.
“Ma, maem apa?”
Semangat untuk memasak juga saya dapatkan ketika ada
permintaan khusus dari mereka.
“Ma, besok masak sop ya.”
“Ma, sudah lama gak masak ikan pindang goreng.”
Bahan bacaan dan catatan yang dibiarkan begitu saja bagaikan
bahan masakan yang teronggok di kulkas karena empunya ‘malas’ memasak. Atau
bisa juga disamakan dengan catatan ragam menu yang berhasil dikumpulkan tapi
enggan praktek memasak. Menulis itu praktek, bukan untuk dipikirkan. Menulis adalah
proses mengolah hasil bacaan. Resep utamanya adalah meluangkan waktu dan
konsisten untuk menulis. Energi untuk menulis saya dapatkan di grup SPK
Tulungagung. Pengelola yang tanpa lelah mengingatkan anggotanya untuk menulis berhasil
menyulut semangat saya. Berselancar di blog sesama anggota grup juga sukses
meningkatkan stok bahan bakar untuk menulis.
Tahap terakhir dari memasak adalah menyajikan hidangan atau food
plating. Jangan membayangkan penataan makanan yang mewah ala kompetisi
memasak yang di TV itu ya. Kebahagiaan saya pasca memasak adalah melihat
anggota keluarga membuka tudung saji. Kemudian mereka makan dengan lahap. Saya tidak mempunyai kemampuan memasak yang
wow. La wong setiap kali saya membawa hasil masakan saya untuk ibu, komentar
pertama beliau adalah:
“Tumbas di endi Nduk?”
Dan saya hanya bisa tersenyum. Bisa jadi ibu masih
membayangkan saya sebagai anak perempuannya yang hobi nangkring di pohon jambu
dan mustahil berjibaku di dapur.
Publish or perish. Tulisan yang berhasil diolah siap
untuk dibagikan. Kadang ada rasa minder, tulisan kok hanya begini. Apa pantas
dibagikan? Segera abaikan rasa-rasa tidak percaya diri. Hal-hal remeh dan biasa
saja bagi kita, bisa jadi hal yang menarik dan menginspirasi orang lain. Bismillah,
klik publish.
“Bagaimana jika tulisan ditanggapi dengan negatif?”
Santai saja. Toh, ibu selalu bahagia dan menikmati masakan
saya meskipun masih meragukan asal muasalnya. Yang penting bagi saya adalah terus
menulis dan menjalani proses untuk menjadi lebih baik. Menulis adalah media
untuk menolak lupa, merawat ingatan, dan mengikat memori. Meminjam istilah Imam
Syafi’i, ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya. Ikatlah buruanmu
dengan tali yang kuat.
12 Comments
Kok perasaan kita sama. Sama sama tidak teey pinter masak. Dan selalu minder dg tulisan kita. Tapi menurutku tulisan ini. Mantab betul
ReplyDeleteSaya banyak belajar dari bu Muslikah lo. Terimakasih ya bu untuk kunjungan rutinnya :)
DeleteNgapunten, saya kog jadi ikut membayangkan hasil masakan Bu Nur. hehe
ReplyDeleteTulisan yang disajikan oleh njenengan yg sungguh begitu luarbiasa, apalagi dengan hasil masakan yg sesungguhnya.
Selamat menikmati hidangan saya versi digital wkwkwk. Terimakasih Alfin :)
DeleteKeren ibu...korelasi antara menulis dan memasak
ReplyDeleteTerimakasih :)
DeleteMasyaallah, keren Bu..
ReplyDeleteMampir ke blog saya nggeh Bu, hehe.
www.putro.my.id
Ashiyap
DeleteMantap bu...!
ReplyDeleteTerimakasih
DeleteAda dua kegiatan yg mampu jadi mood booster, yaitu masak dan menulis. Dan terimakasih ibu atas tulisannya, analoginya mudah diterima. Apakah bu Nur hobi memasak? Saya juga hobi masak, tetapi tidak hobi makan 😀
ReplyDeleteMemasak bagi saya bukan hobi, tapi kebutuhan wkwkwk. Urusan makan, asal ada buah, aman terkendali😋
Delete