Kematian dan Kewarisan

         …..min bakdi washiyyatin yuushii bihaa aw dain….(4: 11)

“……(Pembagian warisan tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (setelah dibayar) hutangnya….” (Al Nisa’: 11)

 

hukumonline.com

Kematian adalah salah satu fase dalam metamorforsis manusia. Al Quran menegaskan bahwa manusia mengalami dua kematian dan dua kehidupan. Kematian pertama terjadi sebelum ruh ditiupkan ke dalam jasad. Kematian kedua dialami manakala ruh ditarik dari jasad.

Selain menyisakan duka mendalam bagi kerabat dan rasa sedih bagi sahabat, kematian merupakan peristiwa yang menimbulkan akibat hukum tertentu. Seorang istri yang ditinggalkan mendiang suami menjalani masa iddah. Wasiat harus segera ditunaikan. Pelunasan utang menjadi kewajiban yang disegerakan.

Ada empat kewajiban yang menjadi beban ahli waris ketika terjadi kematian. Pertama, tajhiz al janazah, biaya penyelenggaraan perawatan jenazah. Selain biaya pemakaman jenazah, pengurusan akta kematian juga perlu diprioritaskan. Sebagai peristiwa hukum, kematian sebagaimana peristiwa kelahiran harus dilaporkan dan dicatatkan. Akta kematian menjadi dokumen yang urgen dalam penetapan status janda atau duda. Akta kematian diperlukan untuk mengurus uang duka, tunjangan kecelakaan, Taspen, asuransi, perbankan, dan pensiun bagi ahli waris. Akta kematian juga menjadi persyaratan dalam pengurusan pembagian waris misalnya dalam hal peralihan hak atas tanah. Salah satu inovasi dalam pelayanan akta kematian dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta. ‘Besok Kiamat’ (Bela sungkawa kirim akta kematian) adalah program penerbitan akta kematian 1x24 jam setelah kematian. Program ini melibatkan peran keluarga, aparat kelurahan, dan dispendukcapil serta penggunaan aplikasi daring.

Kedua, pelunasan utang. Ahli waris bertanggungjawab untuk melunasi utang pewaris. Bagaimana jika jumlah utang pewaris lebih besar daripada harta peninggalannya? Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 175 ayat (2), ahli waris mempunyai kewajiban untuk melunasi utang pewaris terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.

Ketiga, pelaksanaan wasiat. Meskipun dalam pelaksanaannya, pelunasan utang diprioritaskan daripada wasiat, namun dalam al Quran, surat Al Nisa’ ayat 11, kata wasiat lebih dahulu disampaikan daripada utang. Hal ini mengandung makna bahwa ahli waris juga harus memberikan perhatian pada pelaksanaan wasiat. Utang akan selalu ditagih oleh piutang sehingga menjadi pertimbangan ahli waris untuk menyegerakan pelunasannya. Sementara wasiat adalah kehendak mendiang yang akan mudah dilupakan jika tidak segera dilaksanakan.

Nabi SAW. memberikan batasan 1/3 sebagai ukuran maksimal wasiat. Batasan ini diberikan untuk melindungi hak ahli waris. Namun demikian, dimungkinkan wasiat yang melebihi 1/3, jika ahli waris bersepakat secara bulat. Sebaliknya, jika ada ketidaksetujuan dari ahli waris berkaitan dengan wasiat lebih dari 1/3, maka pelaksanaan wasiat maksimal 1/3 harta peninggalan. Adakalanya wasiat ditujukan untuk berbagai agenda kebajikan namun tidak mencukupi. Dalam hal ini, ahli waris dapat menentukan pilihan berdasarkan skala prioritas.

Keempat, pembagian warisan. Al Quran telah menetapkan bagian dari ahli waris dalam surat al Nisa’ ayat 11, 12, dan 176. Namun demikian, dalam pelaksanaan kewarisan di Indonesia, masyarakat juga mempertimbangkan pembagian waris berdasarkan hukum adat. Berlakunya beberapa sistem waris dalam masyarakat Indonesia adalah realitas yang tidak bisa dinafikan mengingat keanekaragaman masyarakatnya. Ada beberapa problematika berkaitan dengan warisan, yaitu: harta gono gini dan poligami, bayi dalam kandungan, mafqud, khuntsa, anak angkat, dan ahli waris beda agama.

Harta gono gini atau harta bersama tidak dikenal dalam Islam. Konsep ini adalah bagian dari hukum adat. Dalam perkawinan, dikenal dua jenis harta, yaitu harta bawaan dan harta bersama. Harta bawaan adalah harta milik pribadi suami dan istri baik berasal dari hadiah atau warisan. Sebaliknya harta bersama adalah harta yang diperoleh selama melangsungkan perkawinan, tanpa mempertimbangkan siapa pun yang bekerja. Harta gono gini dari perkawinan poligami, masing-masing berdiri sendiri dan terpisah. Penghitungan harta gono gini dimulai ketika berlangsungnya ijab qabul pada perkawinan kedua, ketiga, atau keempat. Manakala terjadi kematian, pasangan yang hidup lebih lama berhak atas setengah harta gono gini. Anak dalam perkawinan poligami berhak atas harta perkawinan mendiang ayah dan ibunya sendiri, bukan harta perkawinan yang lain.

Problem lain dalam kewarisan adalah bayi dalam kandungan. Bayi dalam kandungan berhak atas warisan jika memenuhi dua persyaratan, yaitu: kepastian keberadaan janin dalam kandungan ibu ketika pewaris meninggal dan bayi tersebut dalam keadaan hidup ketika lahir. Bagaimana penentuan bagian waris bayi dalam kandungan? Bagian waris bayi dalam kandungan ditetapkan dengan jalan perkiraan. Sementara penyerahan bagian waris ditangguhkan hingga kelahiran.

Mafqud (orang hilang)  menjadi salah satu permasalahan dalam kewarisan. Ulama berbeda pendapat berkaitan dengan batas waktu kematian mafqud. Menurut Ulama Hanafiyah, kematian mafqud didasarkan pada kematian teman sebayanya. Hanafiyah menggunakan tenggang waktu selama 90 tahun. Ulama Malikiyah menggunakan tenggang waktu 70 tahun sebagai batas waktu kematian mafqud. Sedangkan batas waktu untuk pernikahan mafqud, Malikiyah menggunakan tenggang waktu selama 4 tahun. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah menggunakan tenggang waktu yang sama dengan Hanafiyah selama 90 tahun. Namun penentuan kematian mafqud, ditetapkan oleh putusan hakim. Dalam hal mafqud berkedudukan sebagai ahli waris, mafqud  berhak atas harta waris sesuai dengan bagiannya dengan catatan belum diputuskan meninggal. Manakala kematian mafqud sudah ditetapkan, bagian warisnya dikembalikan kepada ahli waris yang lain.

Dalam kajian fikih mawaris, dikenal dua istilah khuntsa (kelamin ganda), yaitu khuntsa ghair musykil dan khuntsa musykil. Bagi khuntsa ghair musykil, bagian waris ditetapkan sesuai dengan alat kelamin yang dimiliki. Ulama berbeda pendapat berkaitan dengan bagian waris khuntsa musykil. Abu Hanifah dan Imam Syafii menetapkan bagian waris khuntsa musykil  adalah bagian minimal dari kedua bagian antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa bagian waris khuntsa musykil  adalah pertengahan antara bagian laki-laki dan perempuan.

Dalam hukum waris Islam, penyebab mendapatkan warisan adalah hubungan darah dan pernikahan. Bagaimana dengan anak angkat dan orang tua angkat? Apakah keduanya bisa saling mewaris? Anak angkat dan orang tua angkat bisa menerima bagian wasiat. Jika anak angkat tidak menerima wasiat, wasiat wajibah diberikan dengan kadar tidak lebih dari 1/3 harta warisan orang tua angkatnya. Demikian sebaliknya bagi orang tua angkat.

Problem lain dalam kewarisan adalah perbedaan agama yang ditegaskan oleh hadis sebagai salah satu halangan untuk menerima bagian waris. Seorang ayah sakit keras dan hanya dirawat oleh anaknya yang beda agama hingga akhir hayat, sementara anak yang lain enggan untuk merawat. Ketika waktu pembagian warisan, semua harta warisan dibagikan kepada ahli waris tanpa memberikan bagian apapun kepada anak yang beda agama, padahal dia yang berjibaku merawat ayah hingga akhir hayat. Bagaimana pendapat Saudara?

Bagian-bagian ahli waris yang sudah ditetapkan dalam al Quran adalah respon atas situasi dan kondisi masyarakat Arab saat itu. Bagian anak laki-laki dan perempuan dengan perbandingan 2:1 adalah cara al Quran untuk memberikan bagian waris kepada perempuan yang sebelumnya sama sekali tidak dipertimbangkan sebagai ahli waris. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan terjadi perubahan dalam bagian waris seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Dalam masyarakat Jawa misalnya, anak laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian yang sama. Orang tua semasa hidup telah menghibahkan harta kepada anak-anaknya dengan bagian yang sama. Model pembagian semacam ini jamak dilakukan masyarakat untuk menghindari konflik di kemudian hari.

Wallahu a’lam

Malang, 6 Juni 2021

Post a Comment

2 Comments

  1. Serasa belajar tentang matakuliah mawaris lagi. Bedanya, materi kali ini dengan sedikit mix hukum keperdataan umum dengan melihat konteks permasalahan yang sering muncul di masyarakat. Terima kasih, bu. Saya jadi belajar lagi. Hehee-

    ReplyDelete