Relasi Suami Istri dan Khotbah Wada

 Kalian dan istri-istri saling mempunyai hak satu sama lain. Kewajiban mereka (istri-istri) adalah tidak mengijinkan orang yang kalian benci untuk menginjakkan kaki di atas lantai kalian dan tidak melakukan perbuatan yang keji. Jika mereka (istri-istri) melakukan larangan tersebut, maka Allah mengizinkan kalian untuk pisah ranjang dan boleh memukul mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Namun bila mereka sudah menghentikan larangan di atas, maka mereka berhak atas nafkah dan sandang yang baik. Dan saling menasehatilah kalian untuk berbuat baik kepada istri-istri, karena mereka adalah mitra. Mereka tidak memiliki apapun. Kalian telah mempersunting mereka dengan amanat Allah dan menghalalkan kehormatan mereka atas nama Allah.”

Pernyataan di atas berasal dari potongan khotbah Nabi Saw. pada saat Haji Wada. Khotbah panjang dan khotbah terakhir Nabi Saw. yang disampaikan di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 H. Penjelasan ini disampaikan sebelum Nabi Saw. menutup khotbah dengan wahyu terakhir, Surat al Maidah (5) ayat 3.

Urgensi relasi suami istri menyebabkan Nabi Saw. merasa perlu menyampaikan hal ini kepada umat. Dua dekade ternyata bukanlah waktu yang cukup untuk bisa mengubah cara pandang dan kondisi sosial budaya masyarakat. Meskipun beberapa perempuan pada masa Nabi Saw. sudah mendapatkan penghormatan dan merasakan kesetaraan, di sisi lain praktik-praktik yang merendahkan perempuan masih terjadi. Tradisi dan budaya jahiliyah dalam memperlakukan istri kadangkala masih dilakukan. Hadis-hadis yang berkaitan dengan relasi suami istri adalah bentuk respon terhadap situasi dan kondisi saat itu. Inilah mengapa hingga di khotbah perpisahan, Nabi Saw. mengangkat isu kehidupan rumah tangga setelah memaparkan penjelasan tentang relasi sosial.


Ada dua hal yang menjadi titik tekan pada Khotbah Wada berkaitan dengan relasi suami istri. Prinsip kemitraan dalam bahtera perkawinan dan petunjuk teknis untuk menyelesaikan problem rumah tangga.

Pertama, prinsip kemitraan. Dalam perkawinan, suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang setara. Kewajiban suami adalah hak istri, sebaliknya kewajiban istri adalah hak suami. Selain itu, suami istri juga mempunyai kewajiban dan hak bersama. Tujuan perkawinan berupa sakinah, ketenangan hanya bisa diraih jika keduanya saling bekerjasama dengan prinsip kemitraan. Sakinah harus disemai dan disirami hingga tumbuh subur, tidak bisa instan layaknya tanaman artifisial.

Kemitraan suami istri diungkapkan dengan indah oleh al Qur’an dengan istilah libas, pakaian. Suami istri saling melindungi, saling menjaga, dan saling menutupi aib. Diksi ‘awaan (penolong) pada khotbah di atas menguatkan bahwa relasi suami istri adalah hubungan kemitraan, bukan pimpinan dan bawahan. Sebagai mitra dan partner, suami dan istri mempunyai tanggung jawab untuk saling menghormati, menghargai, menyayangi, mengasihi, dan berkolaborasi untuk mewujudkan sakinah.

Kedua, petunjuk teknis untuk menyelesaikan problem rumah tangga. Tidak selamanya ketenangan dan kebahagiaan mewarnai sebuah perkawinan. Adakalanya rasa kecewa, marah, galau, dan sedih melingkupi biduk rumah tangga. Nabi Saw. secara khusus memberikan tips sebagai solusi. Dalam al Qur’an, problem rumah tangga dijelaskan secara resiprokal dengan istilah nusyuz, pembangkangan. Nusyuz bisa dilakukan oleh istri sebagaimana dijelaskan dalam Surat al Nisaa’ (4) ayat 34. Begitu pula suami juga berpotensi melakukan nusyuz sebagaimana didokumentasikan dalam Surat al Nisaa’ (4) ayat 128.

Ada tahapan prosedural yang ditawarkan al Qur’an ketika membicarakan nusyuz istri. Jika Istri melakukan pembangkangan, langkah pertama yang dilakukan suami adalah mengingatkan dan menasihati. Komunikasi dan berbicara dari hati ke hati untuk memperbaiki hubungan. Jika istri tidak merespon, tahapan selanjutnya adalah pisah ranjang untuk memberikan waktu berpikir dan merenungi kesalahan. Jika tanggapan positif belum juga ada, langkah terakhir adalah memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan (ghair mubarrih). Pukulan adalah jalan terakhir dan itupun dibatasi oleh Nabi Saw. dengan istilah ghair mubarrih. Dalam menafsiri ayat ini, mayoritas ulama melarang pemukulan kepada istri (Faqihuddin Abdul Kodir, 2019: 413).

Ayat ini juga memberikan peringatan kepada suami agar tidak mengorek kesalahan dan mencari kealpaan istri, manakala istri sudah menunjukkan perubahan positif. Dalam Khotbah Wada, Nabi Saw. menekankan bahwa istri yang sudah mengakhiri kesalahannya, berhak atas nafkah dan sandang yang baik.

Ayat tentang nusyuz suami memberikan perdamaian sebagai jalan keluar. Pada umumnya proses perdamaian akan menghadapi tantangan berupa ego dari masing-masing pihak. Oleh karena itu, ayat ini memberikan dua strategi untuk memuluskan perdamaian di penghujung ayat, berbuat baik (ihsan) dan menjaga diri (taqwa) dari tindakan yang bisa memperkeruh keadaaan.

Kedua ayat ini jika ditafsiri secara mubadalah akan menggambarkan petunjuk teknis dalam penyelesaian problem rumah tangga. Tahapan penyelesaian nusyuz istri atau suami bisa diterapkan satu sama lain dengan modifikasi.

Khotbah Wada tentang relasi suami istri diakhiri dengan pengingat bahwa perkawinan adalah amanat Allah dan ikatan yang kokoh atas nama Allah. Relasi suami istri yang bermutu dan berkualitas dalam bingkai mu’asyarah bil ma’ruf adalah salah satu indikator ketakwaan. Wallahu a’lam bishshawab.

Malang, 25 Oktober 2020

Post a Comment

10 Comments

  1. Tulisan yang sarat ilmu. Penting bagi para suami untuk memahami makna hadits yang dibaca Rasulullah ketika Haji Wada'. Agar rumah tangga sakinah. Saya share ke suami

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih Bu Muslikah❤️. Sungguh saya merasa tersanjung dengan komentar Bu Mus😍

      Delete
  2. Setelah sakinah, tentu berusaha menjadi pasangan yang Mawardah, yakni kosongnya jiwa dr maksud buruk terhadap pasangan. Bila mawaddah beserta rahmah ini sudah menancap dalam jiwa kita, maka pasangan tidak mungkin tuk menyakiti hati pasangan. He he...
    Mantabek Bu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mawardah: mawaddah. Keyboard nya blm standar. He he he

      Delete
    2. Mawaddah bukan sekedar mahabbah. Menurut Prof. Quraish Shihab, mawaddah adalah cinta plus. Terimakasih untuk kunjungan dan komentarnya🙏

      Delete
  3. Tulisan yang bagus, terimaksih Bu ilmunya. Mantap

    ReplyDelete
  4. suka sekali tulisan ini, bisa kah saya share bu..?

    ReplyDelete