Perempuan dan Kebebasan Menentukan Pasangan

 “Wahai Rasulullah, aku sebenarnya menuruti apa yang telah diperbuat ayahku. Namun aku hanya ingin memberitahukan kepada para perempuan bahwa para ayah tidak mempunyai hak sama sekali (memaksakan pernikahan)” (HR. Ibn Majah, Nasa’i, dan Ahmad)

 

Khansa binti Khidam al Anshariyyah adalah seorang perempuan yang dijodohkan oleh ayahnya dan dia tidak begitu menyukai calon pasangannya. Khansa kemudian menemui Rasulullah SAW dan menyampaikan permasalahannya. Rasulullah memanggil ayah Khansa dan memintanya untuk menyerahkan urusan perjodohan kepada Khansa. Di luar dugaan, selanjutnya Khansa menyampaikan pernyataan yang ada di awal tulisan ini. Hadis ini diriwayatkan oleh Aisyah ra.

Tindakan Rasulullah yang diperkuat dengan pernyataan Khansa mengkonfirmasi bahwa perempuan mempunyai kebebasan untuk menentukan pasangan. Memilih pasangan bisa dilakukan siapa saja. Ayah, ibu, atau saudara bisa menawarkan pilihan calon pasangan. Namun, menentukan pasangan adalah hak para pihak yang akan melaksanakan pernikahan, termasuk perempuan.

“Mengapa demikian?”

Pernikahan adalah suatu akad, perjanjian, atau transaksi. Berbeda dengan transaksi pada umumnya, pernikahan adalah janji suci yang disaksikan tidak hanya oleh manusia namun oleh malaikat dan Allah penguasa alam semesta. Bahkan dalam al Quran, pernikahan digambarkan dengan miitsaaqan ghalidzan, perjanjian yang kuat.

Sebagai sebuah transaksi, kerelaan dan persetujuan dari pihak-pihak yang melakukan perjanjian adalah syarat yang harus dipenuhi. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ditegaskan bahwa untuk melangsungkan pernikahan, seorang gadis diminta persetujuannya. Bentuk persetujuan si gadis ditunjukkan dengan cara diam saja.

Di Indonesia, persetujuan kedua calon mempelai adalah salah satu syarat untuk melangsungkan pernikahan. UU Perkawinan menjelaskan hal ini pada Pasal 6. Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahkan memberikan elaborasi bahwa persetujuan calon mempelai perempuan dapat ditunjukkan dengan beberapa bentuk. Pertama, pernyataan tegas melalui tulisan, lisan, atau isyarat. Kedua, sikap diam tanpa indikasi penolakan.

Sumber: Pinterest
“Bagaimana dengan hak ijbar dari ayah atau kakek yang bisa menikahkan anak perempuannya meskipun tanpa persetujuan?”

Secara bahasa, ada tiga kata yang diterjemahkan dengan “paksaan”. Ikrah, taklif, dan ijbar adalah tiga kata yang digunakan untuk menjelaskan konsep “paksaan” dalam situasi yang berbeda.

Ikrah adalah satu-satunya kata yang berkonotasi negatif. Dalam ikrah, seseorang dipaksa untuk melakukan sesuatu dengan adanya ancaman yang bisa membahayakan jiwa atau raganya. Rasulullah menegaskan bahwa seorang hamba akan terbebas dari dosa dikarenakan tiga kondisi, yaitu keliru, lupa, dan dipaksa. Daya paksa juga menjadi satu pembahasan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Seseorang yang melakukan tindak pidana di bawah paksaan tidak dapat dipidana. Daya paksa yang dikenal dengan overmacht adalah dasar peniadaan dan penghapusan hukuman.

Taklif adalah paksaan untuk melaksanakan kewajiban tertentu. Paksaan ini sebagai konsekuensi logis atas penerimaannya pada sebuah keyakinan. Seorang muslim yang mukallaf wajib melaksanakan kewajiban tertentu seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Pun demikian ketika saya memilih untuk menjadi anggota Sahabat Pena Kita (SPK) Tulungagung. Ketentuan tentang setoran tulisan wajib setiap minggu adalah keharusan yang harus saya laksanakan sebagai efek dari keanggotaan saya di grup menulis ini.  

Ijbar adalah tindakan yang didasari unsur tanggung jawab (Muhammad, 2019: 179). Istilah ini lazim ditemukan pada fikih berkaitan dengan pembahasan perkawinan. Ijbar adalah hak ayah untuk menikahkan anak perempuannya tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Namun demikian, konsep ijbar yang digagas oleh Mazhab Syafii bukan tanpa batasan. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam praktek ijbar. Pertama, wali mujbir atau wali yang bisa melakukan ijbar adalah ayah atau jika tidak ada, kakek. Selain kedua orang ini tidak bisa melakukan ijbar. Kedua, anak perempuan yang menjadi objek ijbar masih gadis, belum cukup dewasa untuk memahami problematika kehidupan pernikahan. Ketiga, tidak ada perselisihan antara perempuan dan calon pasangannya. Keempat, tidak ada perseteruan antara perempuan dan ayahnya. Kelima, calon pasangan sekufu, setara dan sebanding dengan perempuan. Keenam, mahar tidak kurang dari mahar mitsil. Mahar mitsil adalah mahar yang setara dengan mahar dari perempuan yang ada di keluarga besar. Misalnya kakak dari perempuan yang di-ijbar ketika menikah menerima mahar sebanyak satu juta rupiah, maka inilah besaran mahar mitsil. Ketujuh, calon suami diketahui akan memperlakukan calon istri dengan baik (Mas’udi, 1997: 92-93 dan Muhammad, 2019: 181).

Rambu-rambu dalam praktek ijbar mengindikasikan bahwa ijbar bukanlah tindakan pemaksaan. Ijbar tidak bisa dimaknai dengan ikrah, pemaksaan kehendak. Mengutip pendapat Prof. Dr. Wahbah al Zuhaili, pakar fikih kontemporer, yang menyatakan bahwa pernikahan tanpa kerelaan dua calon mempelai tidak sah. Jika salah satunya dipaksa dengan ancaman (ikrah), akad penikahan menjadi rusak (fasad).

Ayah sebagai wali perempuan mempunyai hak untuk menikahkan bukan hak untuk memaksakan kehendak. Perempuan mempunyai kebebasan untuk menentukan pasangan.

Malang, 4 Oktober 2020

Post a Comment

10 Comments

  1. Sangat menarik dan bermanfaat..
    Bagi para pencari pasangan

    ReplyDelete
  2. Goresan yg ciamik, bgmn dg perempuan yg sdh prnh menikah..hendak menikah lg..?
    Pembahasan..bgmn pula hal ini Penh trjd d zaman Rasulullah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tunggu episode selanjutnya ya mbak :). Terimakasih respon manisnya.

      Delete
  3. Alhamdulillah ,, saya lahir dari keluarga yang membebaskan saya untuk memilih pasangan 😀

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah. Semoga beliau berdua selalu sehat.

      Delete
  4. Alhamdulillah... bermanfaat kali ilmunya 🤓🙏

    ReplyDelete