Tantangan Menulis Buku Solo

 Awal September lalu, salah satu adik kelasku di masa putih abu-abu membagikan flyer tentang Open Recruitment Kampus Daring Nulis Aja Community (NAC) Batch 6. Flyer yang dibagikan di Whatsapp Group alumni itu langsung aku tandai dengan tanda bintang.

“Masih 6 hari lagi,” pikirku.

Program kuliah daring yang akan memfasilitasi penulis pemula untuk menerbitkan buku solo dengan gratis. Pendaftar cukup mengirimkan contoh tulisan maksimal 250 kata. Tidak ada ketentuan khusus tentang jenis tulisan, bisa fiksi ataupun non-fiksi.

Dan pagi itu adalah hari terakhir pendaftaran. Tulisan sudah kusiapkan, namun akhirnya tertumpuk dengan kesibukan lain. Aku baru tersadar ketika adik kelasku, sekaligus founder dan direktur kampus menghubungiku menanyakan aplikasiku. Ya Allah, maafkan diriku yang seringkali lalai.

19 September 2020, semua mahasiswa masuk ke kampus daring yang menggunakan platform WAG. Ada 89 peserta dalam grup, 24 diantaranya dosen pembimbing. Selain kelas besar, mahasiswa juga dibagi ke kelas kecil, 16 kelas fiksi dan 9 kelas non-fiksi. Aku sendiri masuk di kelas non-fiksi dengan 2 mahasiswa dan 2 dosen pembimbing. Kelas besar adalah wadah untuk penyampaian materi seputar menulis. Sementara kelas kecil adalah media untuk penyelesaian proyek penulisan buku.

Materi demi materi seputar menulis buku disampaikan oleh dosen-dosen yang kompeten. Penulis buku best seller, ilustrator handal, cerpenis, pegiat komunitas sastra, hhhmmm luar biasa bukan? Beruntung sekali rasanya menjadi mahasiswa di kampus ini.

2 Oktober 2020 adalah hari pertama proyek menulis dimulai. Sebelumnya setiap mahasiswa mengumpulkan target menulis harian dan outline kepada dosbim masing-masing. Hari pertama, kedua, ketiga, hingga keempat, aku masih berhenti di potongan-potongan kata, hiks hiks.

Dosbim tak henti memberikan pengingat dan semangat untuk tetap menulis. Dan di hari kelima, 500 kata berhasil aku ketik. Apapun itu yang penting sudah berusaha, daripada tidak sama sekali. Nah, berikut ini aku bagikan hasil tulisanku, bagian awal calon “jabang bayi” buku solo. Kritik dan saran sangat aku harapkan dari pembaca, teman-teman, sahabat, kakak, adik. Terimakasih untuk komentarnya.

Sumber: radarbromo.jawapos.com

 Perkawinan adalah Akad

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)”

(QS al Dzariyat (51): 49)

 

Perkawinan dalam al Qur’an dijelaskan dengan dua istilah, al nikah (menyatu) dan al zawaj (keberpasangan). Kedua kata ini mempunyai implikasi pada keabsahan ijab qabul sebagai pondasi sebuah pernikahan. Perkawinan adalah penyatuan 2 sosok yang berbeda namun berpasangan. Begitu akad diucapkan, babak baru kehidupan dimulai. Seperti kapal yang lepas sandar dari dermaga dan mulai berlayar ke tempat tujuan. Suami istri bagaikan kru kapal yang harus bahu membahu dan bekerjasama untuk menjamin kapal sampai di pemberhentian terakhir.  

Dalam kitab-kitab fikih, mayoritas ulama sepakat bahwa perkawinan adalah akad. Akad nikah adalah kontrak, perjanjian, dan kesepakatan yang berbeda jika dibandingkan dengan transaksi lainnya. Dalam pernikahan, komitmen yang dibangun disaksikan tidak hanya oleh makhluk tapi juga Allah Yang Maha Mengetahui. Sebagai sebuah ikrar, baik suami maupun istri mempunyai tanggung jawab dan porsi yang sama untuk menjaga dan mempertahankan ikatan pernikahan. Kekhasan akad nikah dibandingkan transaksi yang lain ditunjukkan al Quran dengan penggunaan frasa mitsaqan ghalidzan, perjanjian yang kokoh.

Propaganda perkawinan dalam al Quran adalah salah satu misi untuk menempatkan perempuan dalam posisi yang setara dengan laki-laki. Sejarah mencatat bagaimana status perempuan pra Islam. Di masa sebelum Islam, bayi perempuan adalah aib sehingga menguburnya hidup-hidup bisa dimaklumi. Perempuan ketika beranjak dewasa dalam kendali ayah atau saudara laki-lakinya. Ketika perempuan menikah, dia dalam kekuasaan suaminya. Perempuan tidak mempunyai hak waris, bahkan dia adalah aset yang bisa diwarisi oleh anak tirinya, manakala suaminya meninggal.

Al Quran hadir untuk menghapus segala bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan. Narasi perkawinan dalam Islam menegaskan prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh menuntut kesadaran dan persetujuan kedua belah pihak termasuk perempuan. Dalam perjalanan rumah tangga, baik suami maupun istri mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mempertahankan perkawinan.

Di Indonesia, perkawinan diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan pelaksanaan UU Perkawinan (UUP) dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang memuat ketentuan teknis administratif. Selain itu, bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ada ketentuan khusus berkaitan izin perkawinan dan perceraian yang ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983. 7 tahun kemudian peraturan ini mengalami perubahan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.

Selain ketentuan di atas, perkawinan muslim di Indonesia juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ketentuan yang disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 ini adalah hukum terapan atau hukum materiil yang berlaku di Pengadilan Agama. KHI yang terdiri dari tiga bagian, yaitu perkawinan, kewarisan, dan perwakafan menjadi rujukan hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara yang ditangani. Ada 38 kitab yang menjadi rujukan dalam penyusunan KHI. Meskipun kitab-kitab tersebut didominasi kitab fikih mazhab Syafii, namun penyusun KHI juga mengakomodasi kitab fikih mazhab lainnya, seperti Hanafi, Maliki, Hanbali, Dzahiri, dan Syiah. Keanekaragaman mazhab dalam kitab rujukan menjadikan KHI sebagai produk fikih lintas mazhab.

Perkawinan dalam UUP Pasal 1 dimaknai sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara itu dalam KHI Pasal 2, perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.

 

Malang, 9 Oktober 2020

Post a Comment

2 Comments