Sepotong Kenangan dari Bangku Sekolah

 

Dua hari yang lalu, suami kedatangan tamu. Aku pikir teman, kolega, atau mahasiswa yang sedang bimbingan. Sesaat kemudian, suami menemuiku.

“Ada yang mau ketemu,” katanya singkat.

“Siapa?” tanyaku.

Hanya senyuman yang dia berikan sebagai jawaban. Rasa penasaran itu terjawab ketika aku melihatnya. Sosok cantik yang tersenyum manis. Dia kakak kelasku di masa putih abu-abu. Aku kelas 1, dia kelas 3. 24 tahun sudah kami tidak berjumpa. Rupanya dia sedang menempuh studi doktoral bersama dengan suaminya di satu kampus namun beda program studi. Keduanya sedang dalam proses penyelesaian disertasi. Luar biasa bukan?

Mbak Zetty aku memanggilnya. Saat ini dia adalah pengajar di MAN 1 Kota Kediri. Mbak Zetty adalah satu dari sekian alasan kenapa aku mempunyai keinginan yang menggebu untuk bisa bersekolah di MAK Malang, almamater kami. Saat itu aku masih duduk di kelas 2 MTsN Malang 1, madrasah yang berada 1 lokasi dengan MAK Malang. Pembelajaran waktu itu berakhir pada jam 12.00. Perjalanan dari sekolah ke rumah yang berjarak 9 km dengan naik mikrolet selama sekitar 60 menit, membuat ayah selalu berpesan kepadaku agar Sholat Dhuhur dulu sebelum pulang.

“Iya kalau perjalanan lancar. Kalau ada hal-hal tidak terduga, hujan, macet, Nur mau sholat dimana?” kata beliau berargumentasi ketika aku memaksakan diri langsung pulang dan akhirnya ketahuan sholat di rumah.

“Tidak usah manut teman. Nur pulang sendiri tapi hati tenang, tidak ada tanggungan,” jawab beliau ketika aku beralasan jika sholat dulu, aku akan pulang sendiri karena ditinggal oleh teman-teman. Dan sejak itu, selepas jam pelajaran berakhir tujuanku adalah masjid di kompleks sekolah.

Duduk melepas sepatu, biasanya akan ada beberapa siswi MAPK Malang yang melintas di lorong menuju kamar mereka yang terletak di sebelah tempat wudhu. Mbak Zetty termasuk salah satunya. Yang membuat aku takjub adalah mereka berkomunikasi dengan bahasa asing, kadang Bahasa Arab, kali lain Bahasa Inggris. Bagaimana bisa mereka bercengkerama, bersenda gurau sambil tertawa riang dengan bahasa asing?

Momen yang selalu aku rindukan di setiap tengah hari. Kadang aku sengaja berlama-lama menunggu saat mereka berdialog dengan bahasa asing di sepanjang lorong. Meski aku tidak paham apa yang mereka bicarakan, suasana itu membuatku terpukau.

Menginjak kelas 3 MTs, ayah bertanya kepadaku kemana akan melanjutkan studi. Tanpa ragu, kujawab MAK Malang dengan membayangkan diriku berseragam putih abu-abu dan bisa cas cus bahasa asing. Tanpa sepengetahuanku, ayah sudah mengumpulkan informasi tentang pendaftaran ke MAK Malang.

Tibalah saat yang menentukan, tes masuk di Surabaya dengan pesaing-pesaing tangguh jebolan pondok pesantren bergengsi. Ayah yang mengantarku ke tempat tes dan tetap membesarkan hatiku. “Ikhtiar sudah diajalani, Nur tinggal berdoa. Apapun hasilnya itu yang terbaik buat Nur”, kata beliau ketika perjalanan pulang.

Pengumuman penerimaan hari itu menyisakan kebahagiaan berikut keraguan. Biaya masuk yang tertera di lembar pengumuman seakan memupuskan harapanku. Darimana orang tuaku akan mendapatkan nominal yang cukup besar dalam waktu singkat? Ayahku guru SD, sedangkan ibu dengan keahliannya tidak kenal lelah turut mencari biaya demi sekolahku dan adikku. Di kala aku SD, ibu membuat jajanan untuk dibawa ayah dan dititipkan di koperasi sekolah. Lain waktu ibu juga mengambil jahitan konveksi.

Kegalauanku kala itu berbanding terbalik dengan rona wajah ayah yang begitu bahagia. Ibu yang menyambut di rumah tak kalah bersuka cita. Dan malam itu secara khusus ibu telah menyiapkan menu ayam sebagai makan malam kami berempat. Menu mewah yang hanya bisa dinikmati jika ada berkat hajatan tetangga. “Tugas Nur belajar, masalah biaya urusan ayah dan ibu”, kata ayah mengakhiri perbincangan kami malam itu. Optimisme ayah dan ibu sedikit demi sedikit menular kepadaku. Aku yakin selalu ada jalan keluar untuk setiap masalah.

Tibalah hari keberangkatanku ke asrama. Malam sebelumnya ibu mengantarku untuk berpamitan ke rumah Mbah, Pakdhe, Budhe, Paklik, dan Bulik. Bertahun setelah lulus dari Aliyah, ibu bercerita bagaimana tanggapan saudara-saudara ibu ketika aku melanjutkan studi ke Aliyah. “Nur niku kok mboten mondok mawon, lare istri la nopo kok sekolah duwur-duwur, akhire nggih rabi”, kata ibu menirukan komentar saudaranya. Opsi mondok tidak pernah ada dalam bayanganku. Bukan tanpa alasan. Tradisi perempuan di keluarga ibu, selepas MTs adalah mondok sembari menunggu dilamar calon suami. Tapi ini tidak berlaku bagi ayah dan ibu yang selalu memupuk dan merawat mimpi kedua anak gadisnya.

Tahun pertama di MAK adalah tahun yang sangat menyesakkan. Kemampuan bahasa asing yang pas-pas an bersanding dengan materi pelajaran yang didominasi dengan kitab gundul dan penyampaian materi oleh guru dengan bahasa asing. Dan ayahku sebagaimana kebiasaannya setiap kali aku sekolah adalah selalu memberikan semacam waskat, pengawasan melekat melalui wali kelas. Setiap kelas berganti, ayah selalu menemui wali kelasku, mengenalkan diri sebagai wali murid dariku, dan menitipkan diriku kepada wali kelas. Inilah mengapa aku tidak kuasa untuk bertindak seenaknya selama sekolah. Selalu ada rasa bahwa ayah ada di sekitarku, sehingga aku harus berpikir ulang jika ingin melakukan kenakalan ataupun pelanggaran.

Caturwulan 2 di tahun pertama membawa semangat baru, karena aku bisa meraih peringkat pertama di kelas. Sebagai hadiah, sekolah memberikan penghargaan bebas SPP selama 1 caturwulan atau 4 bulan. Kartu SPP selama 4 bulan yang sudah distempel oleh bagian TU, aku tunjukkan kepada ayah dengan sukacita. Dalam hati aku bertekad bahwa cawu selanjutnya aku harus bisa meraih posisi ini. Salah satu caraku untuk bisa meringankan beban ayah dan ibu. Kompetisi yang ketat di kelas, nyatanya tidak membuat posisi jawara menjadi permanen, selalu ada dinamika. Seingatku ada 3 atau 4 caturwulan dimana aku mendapatkan kompensasi bebas SPP.

Peserta didik di MAPK/MAK sebagai salah satu program prestisius Departemen Agama sejak tahun 1987, mendapatkan suntikan dana bulanan. Nominalnya sekitar seratus ribu sekian rupiah. Cair setiap tiga bulan menjadi anugerah luar biasa bagiku. Jalan-jalan, nonton di bioskop, beli baju, jilbab, dan sepatu baru adalah hal-hal yang biasanya teman-teman lakukan jika bantuan telah diserahterimakan. Sebaliknya bagiku, ini adalah waktu untuk membeli buku dan kitab yang menjadi materi pelajaran. Tidak tega rasanya jika harus meminta tambahan biaya kepada ayah dan ibu. Bayakub adalah destinasi utamaku jika beberapa lembar rupiah sudah aku kantongi. Yang kulakukan selanjutnya adalah membuat laporan pengeluaran lengkap dengan nota buku kepada ayah ketika menjengukku di asrama. Entahlah, sudah kebiasaan sejak kecil, apapun itu selalu aku sampaikan ke ayah. Tak lupa kutitipkan jajanan kesukaan adikku yang kubeli khusus untuknya.

Liburan sekolah ketika akhir tahun ajaran biasanya teman-temanku akan saling berkunjung ke rumah masing-masing. Kami berasal dari berbagai kota di Pulau Jawa, ujung Barat diwakili Jakarta, ujung Timur Banyuwangi. Tidak bagiku, liburan adalah momen dimana pekerjaan rumah menjadi tanggungjawabku dan adikku. Sementara ayah dan ibu akan berjibaku mengambil jahitan konveksi dengan jumlah yang lebih banyak. Pundi-pundi harus disiapkan untuk menyambut tahun ajaran baru. Pernah suatu ketika aku menangis sesenggukan pada saat aku akan kembali ke asrama. Pasalnya, sepanjang hari ibuku tidak beranjak dari mesin jahit untuk menyelesaikan pekerjaannya. Campur aduk rasanya melihat bagaimana ayah dan ibu berjuang keras demi pendidikan anak-anaknya. Ibu langsung memelukku sambil berbisik bahwa semua baik-baik saja dan kita bisa melalui ini bersama.

Ayah dan ibu adalah sosok luar biasa yang telah memberikan teladan bahwa kerja keras adalah modal utama untuk bisa mewujudkan mimpi dan meraih harapan. Bermimpilah setinggi langit, tapi jangan diam, bergeraklah untuk membuat mimpi menjadi nyata. Tanpa beliau berdua, tidak akan ada aku yang sekarang. Hingga saat inipun, ayah selalu hafal kapan jadwalku berangkat ke tempat kerja. Sebelum pandemi, Senin pagi dalam perjalanan, ayah meneleponku, bertanya aku berangkat bersama siapa, naik apa, kapan akan kembali pulang. Perjalanan pulang di Jumat sore juga tak lepas dari pantauan ayah. Balasan apapun tidak akan setimpal dengan apa yang sudah beliau berdua lakukan bagiku. Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaani shaghiira.

Malang, 16 Agustus 2020.

Post a Comment

4 Comments

  1. Mantab. Jadi terkenang Ayah Bunda ku

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cerita tentang beliau berdua tidak pernah habis Bu Muslikah🥺

      Delete
  2. Setiap bertutur tentang orang tua, saya selalu tak kuasa menyelesaikan membaca dalam satu kali duduk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya terinspirasi tulisan prof tentang perjuangan orang tua. Ada embun memenuhi pelupuk mata saat membacanya. Semoga Allah ampuni segala dosa kedua orang kita🤲

      Delete