Ibu dan Adaptasi Kebiasaan Baru

Nur Fadhilah

Adaptasi kebiasaan baru adalah istilah yang dipilih Pemerintah menggantikan diksi new normal. Istilah yang berasal dari bahasa asing acapkali menimbulkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat.  Pemahaman bahwa kehidupan sudah normal kembali pada akhirnya melenakan beberapa kalangan dengan mengabaikan prosedur kesehatan. Padahal angka penyebaran Covid-19 belum juga landai. Update pasien positif per 3 Agustus 2020, angka penderita yang terpapar virus ini di Indonesia mencapai 113.134.

Di era adaptasi kebiasaan baru, beberapa tempat publik mulai dibuka kembali. Mall dibuka dengan protokol kesehatan yang ketat. Pengunjung mall wajib mencuci tangan sebelum masuk dan wajib menggunakan masker. Petugas siap melakukan pengukuran suhu badan setiap pengunjung. Petugas di beberapa titik siaga mengingatkan pengunjung untuk tetap menggunakan masker dengan benar.

Idul Adha di tengah adaptasi kebiasaan baru dirayakan dengan tetap menaati prosedur kesehatan. Sholat Id digelar dengan khutbah tidak lebih dari 10 menit. Setiap jamaah menggunakan masker. Tidak ada salaman atau pelukan setelah sholat selesai dilaksanakan. Di lingkungan tempat saya tinggal, penyembelihan dilakukan H+1 mengingat Idul Adha tahun ini bertepatan dengan hari Jumat.

Ada 2 sapi dan 2 kambing yang disembelih di mushola. Sebagaimana kesepakatan warga, warga sudah berkumpul untuk bersama-sama melakukan penyembelihan hewan kurban sejak jam 06.00. Saya dan para ibu yang tergabung dalam PKK juga turut berjibaku dalam kegiatan ini. Masker tetap menjadi barang wajib yang harus digunakan.

Momen perdana para ibu di lingkungan RT berkumpul kembali sejak Covid-19 mewabah sekitar 5 bulan yang lalu. Pertemuan PKK dan agenda pengajian rutinan memang belum dibuka kembali sejak pandemi. Satgas Covid-19 Kota Malang belum memberikan rekomendasi untuk kegiatan yang menghadirkan kerumunan. Pada momen inilah mengalir cerita para ibu tentang perjuangan mereka sepanjang pandemi hingga adaptasi kebiasaan baru.

Pertama, kebiasaan baru ketika keluar rumah. Protokol kesehatan selama pandemi harus tetap dipenuhi di era adaptasi kebiasaan baru. Para ibu menjadi ujung tombak dalam keluarga untuk terus membiasakan hidup sehat dan bersih.

Bulan Dzulhijjah atau bulan besar biasanya ramai dengan hajatan pernikahan. Keluarga besar dari luar kota berdatangan demi menghormati undangan tuan rumah. Keribetan ibu menjelang keberangkatan bersama keluarga menghadiri hajatan, harus ditambah dengan pernak pernik protokol kesehatan. Ibu mengharuskan semua anggota keluarga menggunakan masker. Masker cadangan, hand sanitizer, dan tisu siap di tas ibu. Para ibu yang sedang hamil atau mempunyai anak balita memilih tidak menghadiri undangan demi alasan kesehatan. 

Begitu juga halnya dengan tuan rumah hajatan. Acara pernikahan yang biasanya digelar 2 hari, akad dan resepsi, dipadatkan menjadi 1 hari dengan pembatasan kerumunan. Lagi-lagi ibu yang menjadi leading sector. Memastikan protokol kesehatan dijalankan. Petugas khusus di pintu masuk acara siap mengukur suhu tubuh para undangan, menyemprotkan hand sanitizer, menyediakan masker bagi para tamu. Tamu undangan dibatasi keluarga dari mempelai laki-laki dan perempuan serta tetangga sekitar.

Kedua, isolasi mandiri.  Sepulang dari bepergian ke luar kota, tugas para ibu belum berhenti. Anak-anak yang kelelahan akibat perjalanan jauh dan berkumpul bersama sanak kerabat menjadi tugas tambahan ibu. Memastikan mereka istirahat cukup dan mendapat asupan nutrisi yang memadai. Sekaligus melakukan isolasi mandiri di rumah setelah bertemu dengan banyak orang dari berbadai daerah.

Para ibu yang bekerja kadangkala juga dihadapkan pada situasi dimana kolega terpapar Covid-19. Mau tidak mau, suka tidak suka mereka juga harus melakukan karantina mandiri. Ada kantor yang mengeluarkan kebijakan karantina di hotel, sementara kantor lain cukup mewajibkan pegawainya melakukan karantina di rumah. Ibu lagi-lagi harus bisa memberikan pengertian kepada anak-anak berkaitan kondisi yang dialami.

Ketiga, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Angka penyebaran Covid-19 yang masih terus bertambah menyebabkan pembelajaran bagi ananda dilakukan secara virtual. PJJ adalah kebiasaan baru yang dijalani peserta didik sejak pandemi. Selama PJJ, ibu berperan sebagai guru yang siap sedia mendampingi ananda. Saya teringat salah satu ibu yang bergegas pamit dari takziyah gegara tugas ananda yang dibagikan guru lewat gawai ibunda.

Tidak dipungkiri bahwa PJJ harus didukung sarana dan infrastruktur yang memadai. Ketersediaan gawai yang up to date. Alokasi dana untuk akses internet. Keterbatasan sinyal di beberapa daerah tertentu bisa menjadi kendala dalam PJJ. Namun apapun kendalanya, para ibu tetap optimis memberikan suntikan semangat dan motivasi kepada ananda tercinta.

Ibu, bunda, emak, mama dalam kondisi apapun akan berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi ananda dan seluruh anggota keluarga. Era adaptasi kebiasaan baru adalah momen ujian yang kesekian bagi para ibu untuk tetap tangguh menyemai optimisme, sukacita, dan kebahagiaan bagi keluarga. Predikat kemuliaan bagi para ibu dalam hadis Nabi tidak perlu diragukan lagi. Tiga kali penyebutan, ibumu, ibumu, ibumu selanjutnya bapakmu. Apresiasi mendalam untuk para ibu yang telah berjerih payah menjaga keceriaan dan kegembiraan dalam rumah meski Covid-19 belum beranjak pergi.

Malang, 4 Agustus 2020


Post a Comment

4 Comments

  1. Sayangnya belum ada mata kuliah "Menjadi Ibu yg Baik" nggeh bu ☺️ berarti ini belajarnya juga seperti Haji dan Pernikahan nggeh bu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Beda In. Menjadi ibu yang baik tidak perlu menunggu ananda lahir dari rahim. Selamat mencoba, hehe.

      Delete