Minder: Virus Mematikan dalam Menulis

Nur Fadhilah

Sekitar awal Juli 2020, Dr. Ngainun Naim, bapak literasi di tempat saya bekerja memberikan tawaran untuk bergabung di grup literasi yang beliau bimbing. Tawaran itu beliau sampaikan di grup kantor dan siapa saja yang mau bergabung, bisa langsung japri. Berbekal kenekatan, saya memberanikan diri menghubungi beliau untuk bisa bergabung di grup literasi yang untuk pertama kalinya saya ikuti.

Grup “Komunitas Literasi” yang mensyaratkan blog bagi setiap anggota barunya, ternyata mewajibkan setiap anggotanya untuk menulis setiap minggu. Sebagai pemula, saya langsung dag dig dug. Ada banyak nama yang sudah malang melintang di dunia literasi. Energi itu nyata manakala setiap hari saya diberi suguhan istimewa berupa tulisan-tulisan segar dari anggota grup. Setiap minggu, saya dipaksa menulis meskipun masih sebatas tulisan wajib belum beranjak ke sunnah.

Di minggu ketiga, pak Naim menyampaikan bahwa grup “Komunitas Literasi” akan bermetamorfosis menjadi “Sahabat Pena Kita Tulungagung”. Struktur kepengurusan, agenda launching, dan kopdar via zoom meeting pun disepakati dalam waktu singkat. 28 Juli 2020 dipilih sebagai hari istimewa untuk Diskusi dan Launching SPK Tulungagung.

Agenda ini diawali dengan pengantar yang disampaikan oleh pak Naim yang membidani kelahiran SPK Tulungagung. Hambatan dalam menulis menurut penulis The Power of Writing ini adalah rasa malu. Ada klasifikasi level rasa malu dalam menulis. Pertama, malu untuk mulai menulis. Keinginan menulis sekedar angan dan membiarkan ide bergerak di dunia khayalan.  Jika berhasil menulis, level selanjutnya adalah malu hingga menjurus ketakutan berlebihan jika tulisan dibaca orang lain. Jangan-jangan tulisan saya nanti dikritik, banyak kesalahan, atau dianggap biasa saja dan tidak penting. Jika level kedua terlewati, berikutnya adalah tidak malu dan takut lagi untuk menulis. Dan terakhir adalah level malu jika tidak menulis. Merasa ada yang kurang dan tidak lengkap jika belum menulis. Semangat menulis akan semakin membara dengan adanya teman dalam sebuah grup. Beberapa orang ingin menulis, bergabung dalam grup komunitas menulis, namun tidak bisa move on dari posisi silent reader. Mereka hanya bisa melihat anggota grup lain terus bertumbuh dengan keterampilan menulis yang makin terasah tanpa mau ikut bergabung menjalani proses pertumbuhan.

Launching SPK Tulungagung ini menghadirkan Ketua SPK Pusat, Dr. M. Arfan Mu’ammar, M.Pd.I, penulis 8 buku solo, 17 antologi, dan artikel yang bertebaran di jurnal baik di tingkat nasional bahkan internasional. Kendala untuk memulai menulis menurut pak Arfan adalah minder. Menulis 1 kalimat, 2 kalimat, 1 paragraf didelete, bahkan ada yang berhasil menyusun beberapa tulisan, namun hanya tersimpan di laptop. Penyebabnya tidak lain adalah minder. Setidaknya ada empat hal yang menyebabkan minder.

Pertama, fear, merasa takut. Penulis senior pun pernah mengalami ketakutan. Joanne Kathleen Rowling terkenal dengan J.K. Rowling, penulis tujuh seri novel fantasi Harry Potter mengalami ketakutan yang menyebabkan kebuntuan pada saat menyusun Harry Potter seri kedua. Novel seri pertama yang menjadi best seller dan laris manis menimbulkan ketakutan berlebihan pada penulisnya. Bahkan J.K. Rowling mengatakan bahwa dia telah menghabiskan waktu sepanjang hari untuk bergumul dengan paragraf yang sama. Untuk menghindari rasa takut, kita membutuhkan teman. Inilah manfaat bergabung dalam sebuah grup literasi, memompa energi bagi anggota untuk berani menulis.

Kedua, merasa tulisan salah. Kesalahan adalah hal yang wajar. Sekelas Dahlan Iskan saja seringkali melakukan kesalahan dalam menulis. Resiko atau risiko, kongkrit atau kongkret, hutang atau utang. Pak Dahlan Iskan ternyata mempunyai pengkritik yang siap memberikan masukan jika ada tulisan beliau yang tidak tepat. Dan ini adalah hal yang biasa dalam dunia literasi. Salah satu cara menghindari salah tulis adalah mengunduh KBBI V. Jika ragu apakah kata yang ditulis salah atau benar, bisa dikonfirmasi ke KBBI. Tulisan yang dikritik orang lain bukanlah masalah besar, tidak perlu minder, santai saja.

Ketiga, merasa tulisan tidak pantas. Tulisan yang receh dan biasa saja bagi kita, bisa jadi hal yang luar biasa bagi orang lain. Negeri 5 Menara, novel yang ditulis oleh Ahmad Fuadi bagi santri dan alumni Pondok Gontor adalah hal yang biasa dan tidak penting. Namun novel ini laris manis karena kehidupan pesantren yang biasa-biasa saja ternyata menjadi sesuatu yang menarik dan menakjubkan bagi pembaca. Pengalaman hidup kita adalah hal bernilai yang layak untuk ditulis. Kita harus percaya bahwa tulisan kita pantas untuk dibaca.

Keempat, merasa tulisan jelek. Menulis adalah karya seni yang sarat dengan nuansa subjektif, sesuai dengan selera masing-masing orang. Sebuah tulisan menurut X jelek, sebaliknya menurut Y baik. Penerbit mayor menolak bukan berarti tulisan jelek, tapi mungkin faktor kemujuran dan nasib baik belum bersahabat. Penerbit mempertimbangkan aspek layak jual atau tidak. Berbeda dengan penulis yang sudah mempunyai nama besar, tulisan apapun pasti akan diterima karena sudah jelas pasarnya.

Tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai dan segera dipublikasikan. Memelihara minder sama artinya dengan mengembangbiakkan virus mematikan yang akan menggerogoti semangat menulis.

Malang, 28 Juli 2020.

Post a Comment

7 Comments

  1. Replies
    1. Terimakasih prof untuk selalu menyemangati dam menginspirasi saya

      Delete
  2. Tulisan yg baik tulisan yg selesai masyaaAallah ustdzah...matur swun tukisan jenengan sangat mnginspirasi .sehat2 selalu dzah....🥰🥰🥰

    ReplyDelete
  3. Mantab, bu.
    Saya jadi bisa membaca resume materi yang kemarin tertinggal ketika launching SPK Tulungagung. 🙏

    Mohon sedianya mengunjungi blog berdebu saya, bu. Salam dari mahasiswa njenengan (semoga masih diakui). Hehihehi 🙏😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe ternyata kita ada di grup yang sama. Sudah berkunjung dan sudah meninggalkan jejak.

      Delete