Nur Fadhilah
Belum genap 19 tahun usiaku ketika mengiyakan ajakannya untuk bersama mengarungi samudera kehidupan. Pernikahan kami adalah penyatuan aku dan dia dengan banyak perbedaan. Selisih usia di angka 7, perbedaan tradisi antara Jawa Timur dan Barat, dan perbedaan karakter adalah sebagian kecil perbedaan di antara kami.
Perbedaan yang membuat kami saling
melengkapi. Dia selalu hadir di setiap episode kehidupanku. Kala itu, ketika
aku dinyatakan positif demam berdarah dan harus dirawat inap, kebimbangan
langsung menyergap. Ingin sekali berkata tidak. Cukup masa kecilku saja yang
acapkali bersahabat dengan jarum infus. Tanpa ragu, dia menyampaikan kepada
dokter akan merawatku di rumah saja. Dia berjibaku untuk merawatku, mengurus
anak-anak, dan menyelesaikan tugas kantor hingga aku pulih kembali.
Penyelesaian studiku pun tak luput dari totalitas dukungannya. Dia selalu mendampingiku dalam menjalani peran sebagai mahasiswa di jenjang sarjana hingga doktoral. Melahirkan anak pertama di semester 5 bukan alasan pembenar untuk molor wisuda. "Kuliah selesai tepat waktu", katamu saat itu menyemangati. Di penghujung 2002, kami mengenakan toga bersama-sama, aku sarjana, dia magister, dengan menuntun gadis kecil kami.
Tahun 2005, dia mengejar mimpinya ke ibukota untuk studi doktoral. Di saat yang sama, dia mewujudkan anganku untuk bisa kuliah di perguruan tinggi negeri bergengsi di kotaku. 5 hari menjelang batas akhir pendaftaran studi magister, dia mendesakku untuk melengkapi persyaratan. Berburu rekomendasi, ujian TOEFL, kelengkapan administrasi lainnya, dan persiapan TPA OTO BAPPENAS akhirnya bisa terselesaikan dalam hitungan hari. Akhirnya Allah menjawab kerja keras kami dengan pengumuman bahwa aku diterima dengan beasiswa. Belum genap 1 tahun aku dan dia terpisah jarak, aplikasinya untuk mengikuti sebuah program di luar negeri diterima. Terpisah antar benua dengan keterbatasan media komunikasi, hanya surat elektronik yang bisa kami gunakan. Itupun hanya bisa aku lakukan di warnet dekat kampus. Masih ingat bagaimana tanggapannya ketika aku berkeluh kesah tentang tesisku yang dipenuhi coretan pembimbing. Dia hanya menimpali dengan kata-kata rindu dan ingin segera pulang. Dengan izin dan kehendakNya, gelar magister tersemat pada namaku ditambah bonus sebagai lulusan terbaik tingkat fakultas.
Tahun 2010, dia bersikeras agar aku mendaftar studi doktoral program beasiswa di Yogyakarta. “Jauh,” jawabku singkat. “Tidak lebih dari semalam perjalanan Malang-Jogja,” katanya sambil menyerahkan dokumen pengumuman. Berbekal ridhanya dan kerelaan anak-anak, aku berangkat ke Kota Gudeg, hal yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Penyelesaian disertasi adalah fase paling menyesakkan dada dan dia tetap setia mendampingi perjuanganku. Jangan ditanya berapa kali dalam sehari dia akan mengiangkan kata “disertasi”, hingga terkadang aku sengaja menjauh darinya untuk menghindari kata yang bisa membuat mual-mual itu. Setiap kali dia berangkat ke kantor, dia memastikan bahwa aku sudah duduk di depan laptop. 20 menit berselang, dia akan meneleponku sekedar mengkonfirmasi apakah aku masih di posisi yang sama. Keberhasilanku menyelesaikan studi doktoral adalah keberhasilannya.
Dia adalah dirinya sendiri. Tak perlu sajak cinta, alunan lagu mesra, apalagi rangkaian bunga. Dia romantis dengan caranya sendiri. Awal pekan di pagi hari, dia siapkan mb Beaty, mengelap, mengecek angin pada ban, memanaskan mesin. Dan aku siap memacunya menuju halte bis, moda transportasi yang akan membawaku ke tempat kerja. Mengantarkan kepergianku sambil berkata: "Hati-hati, jangan lupa maem". Inilah mood booster yang membuatku tetap bahagia meski harus menempuh jarak 107 km.
Purnama datang silih berganti, tapi dia tetap orang yang sama. Dia selalu siap menerima kekesalan dan kejengkelanku. Dia senantiasa berhasil meredam amarahku. Aura positif dia tebarkan setiap kali kegalauan menyerang. Dia penyebab debaran hatiku.
252 purnama melangkah bersama, tidak ada yang sempurna. Kami adalah 2 aku yang berbeda. Kami terus belajar saling memahami, melengkapi, melindungi. Dan akhirnya ridha Allah yang menjadi destinasi final. Allohumma innaa nas-aluka ridhaaka wal Jannah, wa na'uudzubika min sakhatika wannaar.
Malang, 26 Juli 2020
12 Comments
Kisah inspiratif Bu Doktor
ReplyDeleteTerimakasih bu Muslikah
DeleteAamiin yaa Rabb...
ReplyDeleteUstadz....Ustadzah....Terharu. kenapa begitu so sweet MasyaaAallah. Baper ...
Baarakallaahu fiikum.
Aamiin ya Rabb. Kamu juga bisa merangkai cerita yang lebih indah. Ihir🤩
DeleteAlhamdulillah, dipertemukan dan bisa belajar banyak hal dari bu Nur. Panutan ☺️
ReplyDeleteDoa terbaik untuk Inama.
DeleteSubehannallah perjuangnya luar biasa
ReplyDeleteTerimakasih Rizka
DeleteSangat inspiratif bu, semoga bisa meneladaninya
ReplyDeleteTerimakasih kunjungannya Izzul
DeleteMasyaa allah tabarakallah...
ReplyDeleteSemoga allah senantiasa selalu menjagamu bu 😇
Aamiin ya Rabb. Terimakasih Dheya
Delete