Keluarga Bahagia di Tengah Wabah

Nur Fadhilah

 

Wabah Corona mengalihkan hampir seluruh aktivitas di luar rumah. Sejak pertengahan Maret 2020, aktivitas bekerja, belajar, dan beribadah dilakukan di rumah saja. Aktivitas seluruh anggota keluarga yang dipusatkan di rumah selama lebih kurang tiga bulan ternyata memicu problem baru. Salah satunya angka perceraian di beberapa daerah mengalami peningkatan di tengah badai corona.

Pendaftaran perkara di Pengadilan Agama Cianjur mencapai 50 orang per hari. Dari Januari hingga Juni 2020 terdaftar 2.029 perkara perceraian di PA Cianjur. PA Jakarta Selatan menerima 300 pendaftar perkara perceraian memasuki new normal pada minggu ketiga Juni 2020. PA Surabaya juga mencatat peningkatan perkara perceraian yang dilayangkan oleh masyarakat. Bahkan PA Kota Semarang mengalami kenaikan perkara perceraian hingga tiga kali lipat. Menerima pendaftaran 100 perkara setiap harinya, PA Kota Semarang mencatat peningkatan perkara dari angka 98 di bulan Mei menjadi 291 di bulan Juni.

Ketahanan keluarga mendapatkan momentum untuk diuji ketangguhannya pada saat gelombang Corona menerjang. Rumah yang berarti maskan seharusnya bisa memberikan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi semua penghuninya. Sangat disayangkan jika intensitas kebersamaan bersama keluarga selama pandemi tidak dimaknai secara positif.

Sakinah sebagai tujuan sebuah pernikahan harus diperjuangkan oleh semua anggota keluarga. Potensi mawaddah dan rahmah harus dirawat dan dipupuk sehingga terus bertumbuh. Tiang penyangga bangunan rumah tangga harus dijaga keseimbangannya.

Menurut Faqihuddin Abdul Kodir dalam Qira’ah Mubadalah, ada lima tiang penyangga yang menguatkan rumah tangga. Pertama, komitmen antara suami istri dalam sebuah perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalidzan). Akad nikah adalah kontrak, perjanjian, dan kesepakatan yang berbeda jika dibandingkan dengan transaksi lainnya. Dalam pernikahan, komitmen yang dibangun disaksikan tidak hanya oleh makhluk tapi juga Allah Yang Maha Mengetahui. Sebagai sebuah ikrar, baik suami maupun istri mempunyai tanggung jawab dan porsi yang sama untuk menjaga dan mempertahankan ikatan pernikahan. Dengan segala keterbatasan dan kondisi abnormal selama pandemi, suami istri seyogyanya bisa tetap memegang teguh janji yang telah diucapkan.

Kedua, suami istri adalah berpasangan (zawj). Pernikahan adalah penyatuan dua “aku” sekaligus penyandingan dua entitas. Dalam pernikahan, laki-laki dan perempuan disatukan bukan hanya secara fisik, tapi juga arah, tujuan, langkah dan cita-cita yang sama. Pernikahan menyandingkan dua unsur yang berbeda namun saling membutuhkan. Laki-laki dan perempuan berbeda sebagaimana alas kaki, ada kanan dan kiri. Keduanya tidak akan berfungsi jika salah satu hilang. Pernikahan adalah persandingan dua orang yang berbeda jenis kelamin untuk berjalan bersama-sama menuju sakinah.

Al Qur’an menggunakan perumpamaan pakaian bagi suami dan istri. Istri adalah pakaian suaminya, sebaliknya suami adalah pakaian istri. Perumpamaan pakaian untuk mengingatkan bahwa dalam pernikahan, keduanya harus saling melindungi, menutupi, menyempurnakan, dan memuliakan satu sama lain. Kesadaran bahwa suami istri saling membutuhkan sebagai pasangan adalah hal yang bisa menguatkan rumah tangga di tengah badai Corona.

Ketiga, sikap saling memperlakukan antara suami istri dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf). Kata mu’asyarah menggunakan bentuk musyarakah, kerjasama antara dua pihak. Suami maupun istri harus terlibat secara aktif untuk memberikan perlakuan yang baik kepada pasangan. Redaksi dalam al Qur’an memang berbentuk fi’il amr yang ditujukan bagi suami agar memperlakukan istri dengan baik. Hal ini bisa dipahami karena struktur sosial saat itu yang didominasi oleh laki-laki dan mengabaikan hak-hak perempuan. Ayat ini adalah perintah kepada laki-laki agar menghapus semua tradisi yang merendahkan perempuan.

Al ma’ruf yang dimaknai baik, berbeda dengan al khair. Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, al khair adalah nilai-nilai kebaikan universal berdasarkan al Qur’an dan hadis, sedangkan al ma’ruf adalah nilai-nilai kebaikan berdasarkan norma dan kepatutan yang diakui masyarakat. Al ma’ruf mengalami perkembangan dan perubahan sesuai tempat, waktu, dan konteks. Ukuran baik dalam memperlakukan pasangan adalah norma, tradisi, dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat selama tidak berlawanan dengan norma agama, akal sehat, dan fitrah manusia. Era pandemi dengan berbagai perubahan di segala aspek kehidupan adalah momen untuk tetap memperlakukan pasangan dengan baik. Saling mendukung, membantu, dan berkolaborasi dalam menjalani adaptasi kebiasaan baru.

Keempat, prinsip musyawarah antara suami istri. Dalam al Qur’an dijelaskan secara eksplisit bagaimana proses penyapihan anak harus dilakukan melalui pembicaraan dan perundingan suami istri. Pernikahan memang menyatukan dan menyandingkan perempuan dan laki-laki, tapi jangan sampai melebur kepribadian masing-masing. Suami tidak bisa menuntut istri agar menjadi pribadi yang sama, sebaliknya istri tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada suami. Musyawarah, bertukar pikiran, dan berembug adalah kunci kesuksesan dalam pengambilan keputusan keluarga. Aktivitas di rumah saja selama pandemi tentunya menuntut komunikasi yang berkualitas antara suami istri, antara orang tua dan anak. Pembagian tugas rumah tangga selama di rumah saja hanya bisa disepakati melalui musyawarah. Produktivitas anggota keluarga tetap terjaga meski rumah berubah menjadi kantor, sekolah, dan tempat ibadah.

Kelima, saling memberikan kenyamanan kepada pasangan (‘an taradhin min huma). Penerimaan dan kerelaan dari masing-masing suami istri akan menumbuhkan kenyamanan dalam rumah tangga. Kedua belah pihak harus berusaha untuk mencapai keridhaan pasangan. Selama pandemi, suami istri seharusnya saling memberikan kenyamanan di rumah. Peningkatan kuantitas kebersamaan bersama keluarga harus dibarengi dengan eskalasi kualitas.

Ikhtiar fisik untuk mempertahankan keutuhan keluarga selama pandemi sebaiknya diiringi dengan ikhtiar rohani. Doa dan mendekatkan diri kepada Allah adalah elemen yang tidak bisa ditinggalkan. Kolaborasi antara usaha dan doa adalah kunci untuk mewujudkan keluarga bahagia di tengah wabah.

 

Malang, 20 Juli 2020 

Post a Comment

2 Comments

  1. Pada saat inilah kita jadi tahu, bahwa pernikahan yang di dasari oleh niat ibadah kepada allah lah itu yang akan kuat bertahan. Sedangkan pernikahan karena syahwat yang besar saja bahkan pernikahan di buat ajang motor gp alias salib menyalip, karena pada dasarnya menikah itu wajib keduanya siap mental fisik dan ikhlas karena allah semata.
    Pada masa pandemi ini adalah ladang hikmah bagi kita yang belum menikah, kita jadi tahu bahwa menikah karena syahwat atau harta akan menjadikan pernikahan tersebut terjadi kerusakan.
    Naudzubillah....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pernikahan adalah ikatan suci yang disaksikan oleh Allah dan makhluk langit. Tanggung jawab dalam pernikahan hanya bisa dilakukan oleh pasangan yang telah matang baik lahir maupun batin.

      Delete