Pandemi dan LDR

Nur Fadhilah


Saya tidak akan menulis tentang bagaimana pandemi bisa menyebabkan LDR bagi banyak pasangan. Saya juga tidak akan menulis tentang tips jitu LDR di masa pandemi. Tulisan ini adalah informasi yang berhasil saya rekam ketika mengikuti Webinar “Pandemi Covid-19 dalam Perspektif Filsafat”. Webinar yang dihelat oleh Program Studi Magister Aqidah dan Filsafat Islam Pascasarjana IAIN Tulungagung ini menghadirkan Prof. Dr. M. Arskal Salim GP.M.Ag., Direktur DIKTIS Kemenag RI sebagai keynote speaker. Webinar yang dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 2020 ini juga menghadirkan 4 narasumber lain dengan latar belakang filsafat. Sayangnya, ketika presentasi narasumber kedua, mbak “sinyal’ tidak mau kompromi, sehingga saya terhempas begitu saja dari forum dan baru bisa bergabung kembali di penghujung acara.

Prof. Arskal mengawali presentasi dengan menguraikan bahwa Covid-19 adalah disrupsi. Dalam KBBI, disrupsi berarti hal tercabut dari akarnya. Sederhananya perubahan yang mendasar. Covid-19 membawa perubahan dalam berbagai bidang, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Perubahan di bidang pendidikan cukup mengejutkan bagi peserta didik, pengajar, dan orang tua. Kebijakan physical distancing menyebabkan pembelajaran tidak bisa dilakukan dengan tatap muka. Proses pembelajaran berpindah ke rumah. Peserta didik, pengajar, dan orang tua dipaksa untuk melek teknologi digital. Pembelajaran virtual menjadi solusi di tengah pandemi dengan berbagai konsekuensi. Pembelajaran menjadi berjarak. LDR antara peserta didik dan pengajar tidak bisa dielakkan.

Covid-19 membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat. Beruntung ada teknologi yang bisa tetap menghubungkan kita meskipun tanpa tatap muka. Bagaimana jika Covid-19 terjadi 10 atau 20 tahun yang lalu, dimana media interaktif masih terbatas.  Media sosial masih dinikmati sekelompok orang. Telepon pintar hanya bisa diakses komunitas tertentu. Lalu lintas media sosial belum seramai saat ini.

Menurut Prof. Arskal, filsuf selalu melihat perubahan sebagai dasar pemikiran. Yang kekal di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Apa yang akan terjadi? What is life? Bagaimana kehidupan setelah Covid-19? What is death? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi bahan pemikiran filsuf ditengah pandemi.

Peristiwa kematian saat ini adalah sebuah tragedi. Kebijakan jaga jarak fisik meniadakan takziyah bagi teman, sahabat, dan kolega. Sholat jenazah tidak dilakukan dengan barisan jamaah. Tahlil dibatasi sebagai dampak larangan membuat kerumunan di tengah pandemi.

Covid-19 telah mengakhiri hyper reality. Kehidupan yang semu dengan mengedepankan status dan pencitraan. Menjatuhkan pilihan pada gerai fried chicken demi bisa melakukan swafoto di samping patung badut berambut merah sebagai ikonnya. Tujuannya satu, bisa up date status di akun media sosial dan berharap jempol atau komentar dari teman sebagai netizen kekinian. Komentar itu absolut meskipun benar itu relatif. Padahal jika memilih lalapan ayam goreng yang mangkal di ujung jalan, ada banyak keuntungan. Tambahan sambel dan nasi tidak diperhitungkan dalam struk. Apalagi jika sudah kenal “Ibu Lalapan”, terong, tahu, atau tempe goreng akan berpindah ke bungkusan nasi yang kita pesan tanpa diminta. Covid-19 membawa perubahan mendasar dalam kehidupan sosial. Pembatasan sosial memaksa kita untuk fokus pada kebutuhan dan tidak memprioritaskan keinginan.

Di masa pandemi, dunia pendidikan perlu menyiapkan infrastruktur yang mampu menjamin keberlangsungan pembelajaran. Ada beberapa tantangan yang dihadapi dunia pendidikan sepanjang Covid-19 mewabah. Pertama, disruption. Aktivitas akademik secara virtual rentan terhadap gangguan dari berbagai aspek. Pembelajaran daring bisa terganggu dengan aktivitas rumah tangga. Webinar terinterupsi dengan zoombombing. Rapat virtual terkendala suara bising di luar ruangan.

Kedua, accessibility and affordability. Tidak semua peserta didik dan pengajar mampu mengakses perangkat teknologi untuk melaksanakan pembelajaran daring. Kondisi geografis menghambat koneksi jaringan internet. Telepon pintar atau laptop sebagai perangkat pendukung aplikasi pembelajaran virtual belum bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Perangkat teknologi interaktif adalah barang mewah dan tidak terjangkau bagi kelompok masyarakat tertentu. Kondisi ekonomi yang tidak menentu di tengah pandemi juga turut menyumbang keterbatasan dalam penyediaan paket data internet.

Ketiga, skill IT yang masih terbatas. Dunia pendidikan mengalami syok akibat Covid-19. Pembelajaran daring sebagai solusi selama pandemi terkendala kemampuan penguasaan terhadap teknologi informasi. Peserta didik dan pengajar masih gagap dan terbata-bata ketika mengoperasikan perangkat pendukung pembelajaran virtual. Peretasan akun dan tragedi zoommeeting akibat lupa mematikan kamera atau audio adalah resiko atas keterbatasan dalam ketrampilan teknologi informasi dan komunikasi.

Di akhir presentasi, Prof. Arskal optimis dengan peluang lembaga pendidikan dalam melaksanakan aktivitas akademik di era pandemi Covid-19. Pertama, efisiensi. Untuk dapat berpartisipasi aktif pada Webinar di IAIN Tulungagung misalnya, narasumber atau peserta tidak perlu datang secara langsung ke lokasi, menempuh jarak ratusan kilo. Lembaga pendidikan mampu menjalankan rencana strategis secara efisien baik secara birokratis maupun kinerja. Administrasi surat menyurat memangkas birokrasi secara efisien selama pandemi. Rapat dan koordinasi yang membutuhkan kehadiran peserta dalam satu majelis, bisa dilaksanakan meskipun di kota, kabupaten, propinsi, bahkan negara yang berbeda. LDR tidak mengurangi kinerja di masa pandemi.

Kedua, integrasi proses antara daring dan luring dalam pembelajaran (blended learning). E-learning yang sebelumnya sebatas aksesori, pasca pandemi, pemanfaatannya bisa dimaksimalkan. Pembelajaran bisa dirancang dengan 80% pembelajaran jarak jauh dan sisanya tatap muka. Menurut Prof. Arskal, saat ini sedang digodok protokol “kembali ke pesantren dan kembali ke madrasah’. Protokol pembelajaran tahun ajaran baru akan digodok selanjutnya dalam rangka menyongsong new normal. Untuk menjamin keberlangsungan pembelajaran di masa pandemi, LDR adalah sebuah keniscayaan.


Malang, 6 Juni 2020

Post a Comment

2 Comments

  1. Mantap Bu. Mari terus merawat semangat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih pak Naim. Selalu terinspirasi dengan jenengan.

      Delete