Nur Fadhilah
Covid-19 tidak hanya menjadi epidemi, tapi sudah menjadi
pandemi. Untuk memangkas mata rantai penularan virus, selama 3 bulan terakhir, aktivitas
beralih ke rumah. Bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Selama
penerapan ‘di rumah saja’, keluarga mendapatkan momentum untuk menikmati quality
time. Kebersamaan yang sebelumnya hanya bisa dirasakan di akhir pekan
karena kesibukan anggota keluarga. Ayah dan ibu bekerja, sementara waktu anak-anak
tersita untuk memenuhi kewajiban sekolah dan kuliah. Bukan wirid penangkal
Covid yang akan saya tulis selanjutnya. Ini adalah pengalaman saya selama ‘di
rumah saja’ dan menjalani 12 minggu bersama orang-orang tersayang.
Protokol kesehatan yang ketat untuk melawan Covid-19 adalah
bagian ikhtiar jasmani yang harus dilakukan. Jaga jarak fisik, penggunaan
masker setiap kali keluar rumah, rajin cuci tangan, menghindari kerumunan dan
menjaga kesehatan fisik harus dipatuhi jika tidak ingin tertular virus. Sebagai
penyeimbang, stabilitas emosi dan ketenangan jiwa juga perlu diperhatikan. 90
persen penyakit berasal dari pikiran. Pikiran mempengaruhi tubuh sehingga penyakit
menyerang atau riwayat penyakit yang sudah diderita bertambah parah.
Selama pandemi, saya dan keluarga menerapkan beberapa hal sebagai
bagian dari ikhtiar rohani. Sholat jamaa’ah lima waktu. Tidak hanya suami yang
menjadi imam shalat. Anak laki-laki juga mendapat jatah sebagai imam. Melalui proses
evaluasi setiap selesai shalat berkaitan surat yang dibaca, kapan surat pendek,
kapan surat agak panjang, saat ini anak laki-laki adalah imam tetap Sholat
Maghrib dan imam pengganti jika papanya sedang berada di luar rumah. Imam
pengganti tidak hanya berlaku di rumah. Ketika berkunjung ke rumah orang tua
saya, anak laki-laki juga menjadi imam Sholat Maghrib dari kakek, nenek, tante,
dan omnya.
Minggu ketiga ‘di rumah saja’, anak laki-laki ditantang untuk
memimpin doa selepas sholat. Dari doa sederhana rabbighfirli dan rabbana
atina, saat ini kombinasi doa-doa panjang sudah lancar dia baca ketika
memimpin doa. Ikhtiar rohani lain selama pandemi adalah membaca wirid bersama. Wirdul
latif kami baca seusai Sholat Shubuh. Tidak lebih dari 25 menit, barisan doa
yang simpel selesai kami baca diiringi kicauan burung di depan rumah. Selesai
Sholat Maghrib, Ratibul Haddad menjadi pilihan kami untuk dibaca
bersama. Kumpulan dzikir pendek tuntas dibaca sekitar 15-20 menit untuk menyambut
malam yang datang menjelang. Pandemi dengan segala kengerian dan efek
negatifnya, ternyata bisa membawa perubahan luar biasa dalam keluarga. Momen
kebersamaan yang sebelumnya jarang bisa dilalui, menjadi keseharian selama
pandemi.
Saya dan keluarga |
Menyikapi Covid-19 secara positif adalah strategi jitu untuk
tetap bertahan di tengah kegalauan dan kegelisahan tentang berakhirnya pandemi.
Fluktuasi angka penularan Covid-19 adalah akibat perbuatan manusia yang
teledor, lalai, dan lengah. Prosedur kesehatan adalah pedoman untuk melakukan
aktivitas dalam tatanan kenormalan baru. Kombinasi kesehatan fisik dan ketenangan
jiwa akan mewujudkan masyarakat produktif dan aman Covid-19.
7 Comments
Luar biasa..tetap produktif meski di rumah..kegiatannya menginspirasi bu 😊😊
ReplyDeleteTerimakasih Bu Fauziah, guru favorit anak laki-laki saya. Semoga saya mendapatkan percikan api dari semangat membara ibu dalam menulis.
Deleteluar biasa bu mskipun di rmah tpi ttep produktif bu
ReplyDeleteTerimakasih Dinda. Kamu juga bisa menulis pengalamanmu selama di rumah saja.
Deleteluar biasa bu mskipun di rmah tpi ttep produktif bu
ReplyDeleteMasyaAllah, kereeen, bisa menjadi referensi keluarga islami, semoga saya kelak juga bisa memiliki k keluarga yang baik dan Qurrota A'yun, Aaamiiin
ReplyDeleteAamiin ya Rabb. Semangat dalam penyelesaian tesis
Delete